Lihat ke Halaman Asli

Nikmatilah Amarah Anda

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

. [caption id="attachment_143818" align="aligncenter" width="228" caption="from google"][/caption] . Semua manusia normal, bahkan semua makhluk yang bernyawa dan berjiwa, tak akan pernah dari sebuah rasa kodrati, yaitu rasa marah. Apa sih rasa marah itu? Menurut saya, yang lebih suka melukiskan sesuatu secara sederhana, marah adalah sebuah respon dari jiwa yang berupa gejolak emosi karena adanya rangsangan peristiwa atau suasana yang tidak sesuai dengan kehendak yang empunya jiwa. Itu menurut saya. Entah kalau definisi menurut ahlinya. Bisa ahli jiwa, ahli saraf ataupun ahli bahasa sekalipun. Kalau anda sempat, boleh saja mencari definisi yang paling sesuai untuk anda. Atau boleh juga membuka terjemahannya pada KBBI. Tapi yang jelas, definisi marah yang saya sampaikan di atas, murni dari hati dan kepala saya yang sok merenung serta berpikir. Mohon ditambahkan atau disanggah jika anda memiliki definisi sendiri. Apapun definisinya, minumnya teh botol sosor....he..he..., sorry becanda. Pagi-pagi serius amat sih? Okay deh. Definisi bisa berbeda-beda, namun saya yakin, apa yang dirasakan oleh kita semua saat marah, nikmatnya tak jauh beda. Mengungkapkan amarah, satu sama lain bisa berbeda pula. Ada yang berteriak-teriak sampai serak, ada yang membanting dan melempar benda-benda di sekitarnya ( gelas, piring, vas bunga, bahkan jika ada tenaga, mungkin sepeda motor pun dilemparnya juga..hahaha...), ada yang menangis (ini biasanya dilakukan seorang wanita, baik menangis meronta-ronta atau yang hanya mingsek-mingsek saja), ada yang menyanyi saat marah--menyanyi beneran---biasanya menyanyi lagu rock atau hevi metal, jarang yang saat marah menyanyikan lagi keroncong dan masih banyak cara yang dilakukan kita-kita untuk melampiaskan kemarahan kita. Ada satu yang perlu diwaspadai, yaitu jika amarah itu kita tahan dan kita pendam, hal ini sangat tidak disarankan, karena jelas akan banyak menimbulkan kerusakan. Bagaimana kalau anda? bagaimana biasanya anda mengekspresikan kemarahan anda?...saya sih berharap anda mengekspresikan kemarahan dengan membagi-bagi uang, atau mengajak teman-teman untuk ditraktir tekwan. Kalau ini cara anda, dalam sehari anda akan saya buat marah tiga kali...hihihi... Kembali. Marah adalah manusiawi. Yang penting adalah cara kita menyikapi. Yang penting adalah cara kita mengelola, sehingga amarah kita itu bisa dijadikan sebuah lompatan, sebuah sikap, sebuah tindakan, bahkan sebuah karya yang mampu menciptakan kemajuan serta segala hal yang berguna, sehingga nantinya kita malahan lupa bahwa kita pernah marah sebelumnya. Mudah saja bicara! Lalu bagaimana caranya? Ya, sederhana saja. Langkah fisik pertama, saat amarah itu datang adalah, tarik napas dalam-dalam, hirup kesejukan sebanyak-banyaknya, tahan, dan alirkan ke bagian tubuh yang paling terasa sakit saat diterpa amarah, yaitu dada dan kepala. Lakukan berulang-ulang hingga ketenangan itu datang. Belum selesai, belum tuntas, itu baru langkah fisikal. Selanjutnya, bersikap dan berpikir pandai, gunakan struktur pikiran anda. Amarah, pada hakikatnya adalah sebuah masalah. Maka itu selesaikan secara pola pikir cerdas ala ilmuwan juga. Saat sepaham bahwa amarah adalah sebuah masalah. Mengelolanya dengan baik tentu saja adalah dengan mengidentifikasi sumber masalah. Mudah dimengerti kan pendapat saya ini? Sumber masalah di sini adalah peristiwa, kejadian, atau suasana yang menimbulkan adanya amarah pada diri kita itu, tentu saja. Sumber masalah ini bisa berasal dari luar diri atau bahkan berasal dari diri sendiri. Kenapa dari diri sendiri saya premis-kan juga? karena kalau kita jujur, perasaan yang menganggap diri sendiri bodoh, hina, lemah, tidak mampu dan pikiran negatif lainnya sangat signifikan menciptakan amarah itu sendiri. Sumber pemicu amarah dari luar diri sangat mudah contohnya. Misalnya :hinaan, cacian, tantangan, kecurangan dan sebagainya. Setelah sumber masalah itu teridentifikasi, maka tinggallah sikap kita dalam mengelola amarah yang menghampiri itu. Sikap kita jelas adalah MENAKLUKKAN sumber amarah tersebut. Bersikap dan berbuatlah yang mampu membuktikan bahwa sumber masalah itu mampu kita atasi, bahkan kita lampaui. Misalnya saja: kita marah saat atasan menganggap kita tidak becus bekerja. Tunjukkan dengan karya nyata bahwa apa yang dikatakannya tidak benar. Ciptakan sesuatu yang mampu membuka matanya. Bahkan seringkali, dalam kondisi "marah" atau pun tertekan, kita sering mampu berpikir dan berbuat "lebih" ajaib dengan munculnya inovasi-inovasi baru. Ekspresikan hal itu. Namun, jika kenyataannya memang kita masih berada pada posisi stagnan, belum mampu berbuat lebih, yang mampu membuktikan. Maka sikap minimal kita dalam mengelola amarah itu tentu saja tidak dengan berperang atau takluk pada pelukan amarah. Sementara ini BERDAMAILAH dengan amarah. Sabar dan jangan bertindak tak berguna yang semakin membuat amarah kita menjadi benci, apalagi dendam yang negatif. Jika belum cukup usul saya itu, langkah selanjutnya tentu saja silahkan anda gali sendiri pemikiran anda. Anda kan orang cerdas dan pintar di kompasiana ini?...hahahaha. Ini pendapat pribadi. Bukan bermaksud menggurui. Semua sikap mengelola amarah, tentu saja terserah anda. Tidak menutup kemungkinan jika kita memang beda arah. Yang penting, jangan marah. Ah. Selamat mengelola amarah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline