Lihat ke Halaman Asli

Letusan Gunung dan Negeri “Kadhung”

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Belum lama ini, pada sebuah siang yang cukup terik, tetangga saya mengomentari halaman kecil dan teras rumah saya yang penuh dengan daun-daun gugur. Memang, tepat di depan rumah, pohon bercabang dan berdaun banyak yang dulu saya tanam, begitu cepat membesar. Ketika musimnya dia merontokkan daun, berapa kali pun di sapu, daun-daun itu akan kembali jatuh. Selalu begitu sampai saatnya ia berhenti sendiri karena menjelang musimnya bersemi lagi.

“ Wah, Om Chris masih berkutat dengan daun-daun kering ya? Saya sudah bebas!”

Saya hanya tersenyum lebar mengiyakan, sambil sekilas mengarahkan pandangan ke rumahnya. Seperti dugaan, saya menemukan alasan kata sudah bebas yang meluncur bangga itu. Halaman rumahnya terang benderang. Pohon yang dulunya ada di sana ternyata sudah ditebang. Padahal setahu saya, jenis pohon yang dulu ada di sana adalah jauh berbeda kelas dalam menggugurkan daun dibanding pohon yang ada di halaman rumah saya. Bebas? Hm, oke, Tante sudah bebas dari daun kering, tapi selamat menyambut debu dan teriknya matahari. Dan apa peranmu dalam menyumbang oksigen? Nebeng dari pohon orang ya? Batin saya.

Jika dianggap daun-daun kering itu adalah beban berat, sejak awal memang saya tak pernah terpikir untuk membebaskan diri dari beban ini. Sebab, saya lebih memilih halaman rumah saya penuh daun, yang tak sulit dalam membersihkan dan mengumpulkannya menjadi kompos. Belum lagi teduhnya teras saat terik mentari kawasan pinggir Jakarta ini begitu menyengat. Dibanding hanya bebas dari daun tapi halaman rumah saya gersang. Sejak awal saya niatkan, dulu membeli bibit pohon ini dengan harga lumayan mahal ya karena ingin suasana teduh dan sejuk ini. Ditebang? Sorry, tak terpikirkan. Yang perlu dilakukan adalah menjaga hubungan baik (keharmonisan) dengan pohon ini. Dipangkas ranting-ranting yang tumbuhnya membahayakan, atau dipotong kalau terlihat terlalu tinggi. Yang jelas, bukan ditebang habis.

Jum’at (14 Februari 2014) kemarin saya sekeluarga pulang kampung ke Purworejo. Seperti rencana memang kami akan mengadakan syukuran/doa memperingati tiga tahun meninggalnya ayah saya tercinta. Membangun candi (nisan/kijing) di makamnya. Dari keberangkatan, keluarga di kampung mengingatkan agar menyiapkan masker, sebab di Purworejo hujan abunya tebal akibat letusan Gunung Kelud. Benar saja, ketika Kereta Bengawan (kelas ekonomi yang harus diakui sekarang jauh lebih nyaman) yang kami tumpangi mendarat..., eh tiba (mendarat,..memangnya pesawat, haha..) di stasiun Kutoarjo, kami langsung disambut abu-abu yang mengepul tebal. Bahkan ketika kaki menginjak peron pun langsung melesak di dalam balutan abu. Bahkan ketika berangkat pulang kembali ke arah Jakarta, di dalam gerbong kereta yang sebenarnya rapat masih juga disusupi banyak abu. Tapi jangankan saya yang hanya naik kereta kelas ekonomi, katanya gerbong kereta yang ditumpangi Pak Beye pun tak lepas dari intervensi abu. Sama nasibnya, kan? Sempat misuh-misuh (ngedumel) memang, seperti orang-orang lain yang menunjukkan respon kesal terhadap hujan abu itu. Seperti teman saya di Bekasi yang kuatir ketika mendapatkan berita bahwa ayahnya memanjat-manjat genting untuk membersihkan abu di Kediri sana.

“ Udah tua ngapain manjat-manjat genting segala to, Pak? Mbok manggil tukang saja!” begitu omelannya lewat telepon.

“ Manggil tukang, gundulmu kuwi, Le! Tukangnya siapa yang mau,? Nggak ada tukang yang rumahnya nggak kena debu!”

“Malah aku yang kena semprot, Mas..”, kata temenku sambil nyengir.

Apalagi, jika mengingat dahulu, hujan abu seperti ini, saat letusan Merapi, yang menjadi pemicu begitu menurunnya kondisi kesehatan sampai meninggalnya ayah saya. Tapi, kesadaran untuk bersyukur lebih cepat timbul. Bukan hanya membandingkan dengan mereka-mereka yang tinggal di lereng/beredekatan dengan gunung yang meletus itu dan kami masih lebih beruntung hanya direpotkan dengan abu. Tapi, melihat permukaan bumi yang tertutup abu itu menjawab dan memberikan bukti mengapa tanah terutama di sebagian besar negeri ini begitu suburnya. Demikian juga, naluri gotong-royong meski di daerah yang masih bisa disebut “kampung” pun, yang sebelumnya mulai pudar terlihat tumbuh lagi. Sebab jika tidak membersihkan abu secara gotong royong, serentak dan terpola, pasti sia-sia.

Gunung Kelud njeblug (meletus), lalu menumpahkan banyak material termasuk abu yang menghujani banyak wilayah bahkan jangkauannya hingga 700 km jauhnya. Belum lupa, sebelum ini Merapi, Lokon, juga Sinabung. Bahkan jika dihitung, ada sekitar 127 gunung api di Indonesia ini. Apakah dengan keberadaan gunung api yang dikatakan terbanyak di dunia ini, kita memandang negeri ini adalah negeri sial? Tentu tidak kan? Gunung api sudah pasti akan mengalami erupsi. Kalau berhitung rentang periode, waktu saat mereka meletus dan berapa lama jeda yang diberi untuk kita menikmati berkahnya, tentu layak dipandang bahwa gunung-gunung api itu adalah harta kekayaan negeri yang tak ternilai harganya. Bisa dikatakan, sebenarnya gunung-gunung api itu mengajak kita kembali menilai diri. Sudahkah negeri ini kembali kepada kesadaran bahwa dengan pondasi berkah alam yang ada seharusnya kita berjaya? Tanah yang subur dan lautan luas adalah modal utama sebagai penunjuk siapa sesungguhnya kita. Sungguh ironis ketika di negeri berjubel gunung api yang subur serta lautan luas ini ternyata sering mengimpor beras, kedelai, sapi, buah-buahan, sayur, gula bahkan uyah (garam) dan BBM. Padahal, saya setuju pendapat Wapres USA (kalau tak salah Al Gore) yang mengatakan bahwa Indonesia bisa menjadi super power dalam energi (panas bumi) karena kepemilikan gunung-gunung apinya.

Kita harus mengakui bahwa kebingungan dalam memijakkan langkah yang cenderung serakah menjadikan kita tak fokus dan lupa. Industrialisasi, pertambangan, serta pengganyangan hutan terlihat perlahan tapi pasti melahap identitas kita sebagai negeri agraris dan bahari. Padahal, untuk apa mengejar pertumbuhan tapi meninggalkan titik tolak dari mana pertumbuhan ekonomi itu mengakar. Industrialisasi, pertambangan, pembabatan hutan dengan tanaman sejenis (sawit), lalu kebanggaan bonus demografi menjadikan kita tumbuh menjadi konsumen sejati? Memang terlihat maju dan modern, tapi, maaf..., bukankah itu semu? Sebab yang tersisa nantinya adalah petani uzur dengan cangkul kuno serta nelayan tua dengan perahu kecilnya saja.

Sering saya berandai-andai. Entah, apakah negeri ini sudah terlanjur salah langkah atau masih banyak waktu berbenah. Simpan segala kekayaan tambang kita, simpan kehendak industrialisasi kita. Kembali fokus pada pangan (pertanian dan kelautan), yang lain jadikan pelengkap atau pendukung kuatnya. Bukankah semua negara butuh makan? Kalau sektor pangan kita mantap, negara-negara lain yang alamnya tak sehebat kitalah yang “bergantung” makanan dari kita. Tak perlu kuatir dengan produk-produk lain yang memang negeri luar sana yang membuatnya. Kita bisa membeli/menukarnya. Jangan sampai nanti kita menjadi negeri “kadhung” (telanjur), pangan kita loyo, tambang habis, industri pun kembang kempis. Lapar (makan gadget?).

Bukankah gejala menjadi negeri “kadhung” itu sebenarnya terlihat? Jakarta selalu tenggelam karena penggundulan kawasan penopang menjadi vila-vila dan pabrik? Resapan dikuasai beton-beton gedung dan aliran sungai mampat dengan sampah-sampah plastik (efek kemajuan teknologi dan kemunduran budaya)? Sebuah pelarian yang pengecut saat setiap datang bencana selalu saja Tuhan menjadi “kambing hitam” dengan ceracau tentang ini adalah hukuman dari-Nya. Banjir,tanah longsor, pemanasan suhu apalagi. Jelas-jelas ini adalah buah kesalahan kita yang menghukum diri sendiri. Apalagi ketika gunung meletus. Saya memiliki pandangan bahwa jelas itu bukan hukuman dari Tuhan. Seolah dengan bertobat saja maka gunung-gunung itu akan diam. Letusan gunung itu selalu membawa pesan bahwa kita ini begitu kecilnya. Jika ingin mengambil kenikmatan di sela-sela hidup di antara kungkungan gunung-gunung, maka kitalah yang harus beradaptasi dan memelihara harmonisasi. Apalagi kini kemajuan olah pikir manusia adaptif dalam bentuk teknologi yang relevan sebagai pendukung, jauh lebih bisa dimanfaatkan perannya dalam meminimalisir efek-efeknya, mengambil masa menikmati berkahnya. Tidak seperti dahulu, sekali meletus gunung, menelan ribuan nyawa.

Sebenarnya, terkait bencana yang benar-benar alam (seperti letusan gunung, bukan banjir) ini, banyak pesan dan gagasan selalu terulang. Termasuk gagasan bagus tentang asuransi bencana. Ternyata kita tampak lebih tertarik dengan wacana siapa yang menggagas dan siapa yang menjiplaknya. Padahal mungkin sebenarnya kita tak tahu peristiwa sesungguhnya di balik itu seperti apa. Justru subtansi seterusnya adalah bagaimana realisasinya yang terlihat lamban, jika boleh menggantikan istilah stagnan tanpa pergerakan.

Setiap kali bencana terjadi, pesan dan saran itu hampir selalu terulang. Justru tak melulu dari orang yang terbayangkan, namun dari seorang penyanyi dan pencipta lagu, Ebiet G. Ade.

“ Ini bukan hukuman

hanya satu isyarat

bahwa kita meski banyak BERBENAH..”

kurang lebih demikian syairnya, yang sayangnya sering terlihat hanya dinikmati sebagai lagu indah semata. Sudah “kadhung” banyak pabrik di Jakarta dan Jawa? Sudang “kadhung” hutan jadi kebun kelapa sawit? Sudah “kadhung” dianggap hukuman Tuhan? Atau sudah “kadhung” tiap bencana adalah bahan empuk untuk dipolitisasi? Padahal itu adalah pesan dan GAGASAN agar negeri ini jangan sampai menjadi negeri “kadhung”. Atau jangan-jangan semua hanya “menjplak” karya Ebiet? Termasuk saya? Tidaklah, saya tidak mengakui. Kalau menjadi bagian dari inspirasi, iya. Tapi substansinya tak cukup hanya terinspirasi kan? Bisa di mulai dari hal-hal yang mungkin dianggap sepele tapi penting dalam memandang dan menyikapi alam. Paling tidak, saya memandang daun-daun kering yang jatuh di halaman bukanlah sebuah beban.

.

.

C.S.

Kadhung nulis...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline