Saya mau awali refleksi ini dengan mengajak pembaca untuk mendengar kisah tentang Kain dan Abel. Kisah ini diceritakan dalam Kitab Kejadian, 4, 1-25. Keduanya adalah putra dari Adam dan Eva yang lahir di luar taman Firdaus. Tentang mereka diggambarkan secara amat dramatis bukan saja dalam Kitab ini, tetapi juga menghiasi sejarah kemanusian. Mereka menjadi prototipe sifat iri hati dan benci manusia sampai pada sisi ekstrimnya, yakni upaya menghilangkan nyawa orang lain.
Cain adalah seorang petani. Ia dianggap pelit. Ia tidak mempersembahkan hasil bumi terbaik olahanya kepada Allah. Sedangkan adiknya, Abel berbuat sebaliknya. Ia sangat murah hati. Ia berikan kepada Allah ternaknya yang terbaik.
Dan Allah sangat bersukacita atas kemurahan hati dan korban persembahan Abel. Cain sadar bahwa korban persembahannya tidak diindahkan oleh Allah. Ia mulai iri dengan adiknya. Bahkan rasa iri semakin tumbuh berkembang jadi kebencian tak terbendung sampai pada ketekatan untuk membunuh adiknya sendiri. Abel tidak curiga dengan sifat iri dan niat buruk kakaknya. Ia sangat inosens. Memang ia kemudian menjadi korban keganasan sifat iri hati dari saudaranya sendiri.
Kisah ini, di kemudian hari menjadi inspirasi banyak pemikir dan penulis bukan saja soal keberagamaan manusia, tapi lebih tetang kemanusiaan. Kisah Cain dan Abel bermaksud menjelaskan soal kejahatan manusia. Manusia yang dari kodratnya adalah makluk sosial menjadi asosial; makluk yang mampu mencintai dan dicintai berubah menjadi penebar kebencian dan iri hati; perusak persaudaraan dan hidup bersama.
Filsafat moderen yang cendrung individualistis, bahkan melihat kebebasan individu sebagai nilai yang harus diperjuangkan, justru turut membuka ruang aktualisasi kecendrungan kejahatan manusia sebagaimana dilakoni oleh Cain kepada adiknya Abel.
Hak memiliki dan ideal otonomi individu juga memberi peluang bagi manusia moderen untuk mencari kebahagiaan dalam materi, atau lebih tepatnya "siap perang semua lawan semua" sebagaimana dikatakan Filsuf Hobbes demi mendapat apa yang diinginkannya. Manusia semakin egositis, tak peduli pada orang lain. Ia berpikir tentang diri dan apa yang ia mau tanpa peduli pada harga yang harus dibayar, meski nyawa orang lain sekalipun.
Bangga menjadi orang Indonesia
Suatu kesempatan bertemu satu keluarga Spanyol yang sudah beberapa kali berlibur di Indonesia. Tahu bahwa saya orang Indonesia, mereka spontan katakan: "Indonesia es bella". Indonesia itu indah. Saya tersenyum bangga, sambil berkata: muchas gracia. Terima kasih banyak. Mungkin kita banyak mendengar ucapan serupa ini, bahkan dalam berbagai survey, Indonesia selalu ditempatkan dalam daftar negara yang indah dan layak dikunjungi.
Melihat Indonesia dari luar, saya jadi semakin bangga menjadi orang Indonesia. Kita, Indonesia adalah bangsa besar dan bermartabat. Bangsa kita pandai mengelolah keaneragamaan suku, bahasa dan agama menjadi sebuah kekayaan yang mengamgumkan, harmonis, indah dan damai. Indoensia adalah pelopor dan contoh negara yang bisa harmonis dalam keanekaan. Itulah kebesaran dan kekayaan yang tidak dimiliki oleh bangsa lain.
Dari aspek fisik-geografis saja Indonesia sangat luar biasa, dengan jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia. Kemurahan Tuhan yang menyatukan 17 ribu pulau menjadi satu; ratusan bahasa terjembatani dengan Bahasa Indoensia; 700 ratusan suku disatukan dalam satu rumah bersama: Pancasila dan UUD 1945.
Belum lagi dilihat dari aspek kekayaan alam dan warisan nilai-nilai hidup bersama, gotong royong, toleransi, dll. Bangsa lain di dunia sangat kagum dengan keragamaan ini, meski sudah banyak korban nyawa dan harta untuk bisa menjadi satu dan damai. Ironisnya, kita malah begitu skeptis dengan keberlangsungan bangsa sendiri.