26 Juli adalah tanggal yang selalu menjadi hari spesial untuk Australia. Di tanggal tersebut adalah hari kemerdekaan Australia yang selalu identik dengan julukan negeri Kangguru tersebut.
Negara yang letaknya berada dibawah negara Indonesia dan memiliki ikon gedung opera Sydney selalu merayakan hari kemerdekaan dengan meriah, kendati di tengah suasana pandemi Covid-19, masyarakat tetap merayakan hari kemerdekaan tersebut dengan berbagai cara mulai dari upload foto dengan membentangkan bendera negeri kebanggaanya, live music hingga festival makanan yang selalu ditandai dengan banyaknya bendera Australia yang berkibar.
Namun dibalik gemerlap dan meriahnya perayaan hari kemerdekaan Australia, terdapat suatu kisah dan tragedi yang pernah menjadi sejarah kelam sepanjang negara tersebut berdiri, sebuah tragedi yang mungkin sangat memilukan dan menyedihkan dalam sejarah umat manusia.
Suku Aborigin, suku ini mungkin tidaklah terdengar asing bagi para penyintas masa sekolah tingkat menengah pertama hingga atas terutama bagi mereka yang bersekolah di jurusan ilmu pengetahuan sosial Suku Aborigin adalah suku asli dari benua Australia yang sudah hidup menetap selama ratusan hingga ribuan tahun lamanya jauh sebelum kedatangan bangsa kulit putih ke benua tersebut.
Mungkin banyak yang lupa akan fakta sejarah bahwa 100 hingga 250 tahun lamanya, terjadi suatu genosida dan pemusnahan besar-besaran terhadap suku Aborigin beserta lingkungan tempat tinggal dan kebudayaan asli mereka bukan hanya itu, generasi suku Aborigin yang tersisa dan masih hidup hingga saat ini harus mengalami pandangan dan diskriminasi rasia serta dipaksa untuk “meninggalkan” tradisi dan budaya mereka.
Sejak kedatangan bangsa kulit putih yang tepatnya berasal dari kerajaan Britannia (Inggris) ke benua Australia yang pertama kali ditandai dengan ekspedisi pelaut James Cook pada tahun 1770 yang menjadi penemu pertama benua Australia dan kemudian disusul oleh gelombang migrasi pertama bangsa Inggris ke benua Australia melalui pelayaran 11 dermaga kapal pada tanggal 13 Mei 1787 yang dikenal dengan istilah First Fleet, konflik antara bangsa Inggris dengan suku asli Aborigin berlangsung penuh darah dan mengorbankan banyak nyawa di kalangan suku Aborigin.
Sejak tahun 1790 hingga 1900-an, pembantaian dan pengusiran besar-besaran terhadap Suku Aborigin berlangsung dalam skala besar. Suku Aborigin yang mencoba melawan agresi dan invasi bangsa Britania Raya yang secara persenjataan militer jauh lebih modern dibandingkan dengan suku Aborigin yang menggunakan senjata tradisional menjadi suatu pertempuran yang tidak seimbang dan pada akhirnya menjadi suatu ladang pembantaian bagi suku Aborigin itu sendiri.
Dilansir dari situs web Creative Spirits, jumlah total sebanyak 65.810 nyawa suku Aborigin harus melayang selama pembantaian dan pembersihan etnis yang dilakukan oleh bangsa Britannia dalam kurun waktu sejak tahun 1790 dan bahkan berlanjut hingga tahun 1920-an ketika pemerintahan dan negara federal Australia terbentuk.
Bahkan pembantaian tersebut menyasar semua gender dari suku Aborigin tanpa pandang bulu yang dimana didalamnya termasuk pria, wanita, anak-anak hingga lansia. Selain itu bukan hanya pembantaian saja yang terjadi, pemerkosaan dan pelecehan juga menyasar terhadap kaum wanita termasuk gadis dibawah umur.Suku Aborigin yang "selamat" dari pembantaian kemudian dijadikan sebagai budak untuk tuan tanah kulit putih dan banyak pula yang dijual ke wilayah koloni Inggris lainya.
Menurut sumber dari Guardian Australia, wilayah dengan jumlah genosida dan pembersihan besar-besaran terhadap suku Aborigin umumnya terjadi di negara bagian Australia Utara, Queensland, New South Wales dan Tasmania dimana Queensland dan Tasmania adalah dua wilayah dengan jumlah perisitiwa pembantaian dan korban jiwa terbesar dalam sejarah kelam tragedi genosida yang berlangsung selama ratusan tahun lamanya.
Oleh karena itu, hari dan perayaan kemerdekaan Australia tidak akan pernah lepas dari sejarah dan peristiwa kelam dari tragedi kemanusiaan tersebut.