10 November, kembali lagi menyapa kita tahun ini. Hari yang menjadi momentum bagi kita untuk merefleksikan diri, sejauh mana kita menghormati orang-orang yang telah mengisi sejarah bangsa ini, atau yang telah menorehkan kepeduliannya terhadap keberlangsungan hidup kita. Namun sayangnya, kebanyakan dari kita terkadang melupakan hari istimewa ini, hari yang sering diperingati sebagai "Hari Pahlawan". Pertanyannya, apakah kita betul-betul mampu memaknai bagaimana hari Pahlawan? atau ia hanya sebatas ceremony tahunan dengan ucapan-ucapan yang berserakan di sosial media?
Jika kita bersedia membuka kembali memori puluhan tahun yang lalu, bisa kita perhatikan bahwa orang-orang yang sering kita sebut sebagai pahlawan sebetulnya tak pernah sekalipun menyebut dirinya sebagai pahlawan. Hampir tidak pernah kita temukan dalam kamus bacaan manapun tentang statement pengakuan mereka bahwa "I am a Hero". Sebaliknya, dengan kejujuran dan rasa cinta yang mendalam pada tanah air, mereka menyebut dirinya sebagai relawan atau pejuang.
Lalu, jika kita menilik lebih dalam lagi, justru kitalah yang sering menyebut mereka sebagai pahlawan. Hal itu bukan pula tanpa alasan. Penyematan kata "pahlawan" itu adalah buah hasil perjuangan mereka yang telah kita rasakan. Mereka telah berhasil memperjuangkan bangsa ini dari penjajahan bangsa asing sehingga kita bisa disebut sebagai negara merdeka. Bisa bersekolah dan menempuh pendidikan dengan nyaman, bisa bepergian kemanapun dengan aman, bisa berkumpul dan berdiskusi tanpa rasa khawatir. Begitulah keadaan yang sekarang kita rasakan namun jarang mereka nikmati.
10 November, bukanlah tiada arti. Ia memiliki rangkaian peristiwa panjang tentang sebuah makna "pengorbanan dan perjuangan". Hari itu merupakan puncak perlawanan masyarakat Indonesia pada pertempuran yang sering kita kenal sebagai "Arek-arek Suroboyo" atau dalam istilahnya diterjemahkan sebagai sebutan bagi orang Surabaya, yang pada saat itu berani melawan pasukan sekutu meskipun hanya menggunakan bambu runcing. Pertempuran ini merupakan pertempuran pertama dan terbesar setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dilakukan secara habis-habisan oleh masyarakat hingga ribuan nyawa dikorbankan demi mempertahankan negara Indonesia yang baru saja merdeka, sampai-sampai saat itu kota Surabaya dijuluki sebagai "neraka", selama tiga minggu lamanya berperang.
Lantas, bagaimana seharusnya kita memaknai peristiwa-peristiwa heroic itu? Selain dengan tak melupakan mereka dalam ingatan dan doa, maka sudah sepantasnya kita lanjutkan pula perjuangan mereka. Setelah merdeka, bukan berarti kita tak bisa menjadi pahlawan. Kita pun bisa menjadi pahlawan yang ikut berkontribusi membangun negeri ini. Sederhana saja, semisal menjadi relawan yang berjuang melawan tindakan-tindakan korupsi, dinasti ataupun oligarki.
Lagi-lagi kehidupan para pahlawan telah menyajikan gambaran kepada kita bahwa "Pahlawan itu bukanlah ia yang hidup untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya, tapi ia yang hidup untuk kebaikan orang banyak". Namun itu memang tidak mudah, apalagi negara kita seringkali menghadapi kenyataan yang tak sesuai harapan terutama bagi orang-orang yang tak mempunyai kekuasaan atau "wong cilik". Lantas betul lah apa yang disampaikan oleh Sukarno, "Perjuangan para pahlawan kemerdekaan itu lebih mudah karena mereka melawan penjajah asing, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri".
Selamat Hari Pahlawan !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H