Fenomena hedonisme dan "flexing" telah menjadi bagian dari gaya hidup yang semakin populer dalam era digital saat ini, terutama di kalangan orang kaya baru atau OKB. Hedonisme itu sendiri merupakan trend gaya hidup yang fokusnya pada pencarian kesenangan dan kebahagiaan sesaat secara instan. Nah, flexing itu sendiri merupakan perilaku pamer kekayaan atas pencapaian dengan tujuan untuk mendapatkan validasi secara sosial.
Guys, tahu gak sih kalau gaya hidup seperti tersebut itu berdampak negatif bagi kesehatan mental? baik mentalitas bagi pelakunya itu sendiri maupun bagi lingkungan sekitarnya. OKB biasanya akan mengalami gegar budaya yang sangat menonjol pada dua aspek yaitu perubahan budaya dan ekonomi. Pasalnya pelaku OKB tersebut sedang dimabuk kepayang, bukan mabuk kepayang karena mencintai seorang kekasihnya, tetapi sedang melayang seolah segala isi dunia berada dalam genggamannya.
Beberapa pekan ini, semua linimasa media sosial dipenuhi oleh pemberitaan atas perilaku flexing. Malahan hal itu rata-rata pelakunya adalah anak, menantu, ataupun kerabat pejabat-pejabat pemangku kebijakan di negeri ini.
Harusnya kan mereka itu "tahu diri" bahwa semua fasilitas yang menggiurkan apapun itu adalah karena adanya akses dari posisi jabatan orang tuanya ataupun kerabatnya, yang seharusnya akses-akses tersebut semata-mata bermanfaat untuk menunjang pelayanan kepada publik.
Perilaku aji mumpung ini sontak membuat kehebohan netizen dijagad dunia maya. Ya pantas saja, perilaku mereka itu karena secara mendadak mendapatkan fasilitas-fasiltas itu berhias kemewahan yang luar biasa. Mereka belum siap dan kaget lalu tak sadarkan diri, mabuk dan terlupa akan penggunaan fasilitas-fasilitas tersebut untuk keperluan pribadi maupun koleganya. Seolah tercitra kalau gue seneng, lantas lu kenapa? Padahal fasilitas-fasiltas itu sepenuhnya bersumber dari pajak yang kita bayarkan kepada kas negara.
Contohnya, ada seorang influencer yang tiba-tiba meroket naik kelas ataupun siapapun itu tiba-tiba menjadi anak pejabat, tiba-tiba kaya. Seiring berjalannya waktu seorang influencer itupun memiliki banyak follower, dan tak ayal didatangi oleh brand terkenal dan mahal menawarkan produk ataupun jasanya untuk ia gunakan, agar masyarakat pada umumnya tergiur untuk menggunakan produk ataupun jasa dari produk tersebut.
Secara praktris, influencer itupun akan menikmati kemewahan-kemewahan baru tersebut sebagai sesuatu yang sifatnya balas dendam atas usaha-usaha kerasnya bahkan balas dendam akan penderitaan-penderitaan secara sosial di masa lalunya (baca: kemiskinan) yang pernah ia alami.
Tentunya si influencer itu mempunyai tabiat baru yaitu suka flexing barang-barang mewah, suka pamer akan tempat-tempat keren dibelahan dunia yang ia jajagi dan mencoba menjajal makanan-makanan kelas elite yang harganya pun diatas upah seorang guru honorer dipelosok negeri.
Sadar atupun tidak maka hal-hal itulah awal jebakan duniawi yang melenakan dan lupa akan jati dirinya sendiri, lupa akan budaya ketimuran yang menjadi falsafah masyarakat Indonesia pada umumnya. Seolah berjaya akan capaian-capainnya, namun sebenernya itu merupakan sebuah fase menunggu masa-masa kehancurannya.
Olehkan karena itu, yuk latih diri kita sejak dini untuk selalu hidup sederhana dan terbiasa dengan kejujuran. Sederhana bukan berarti tidak kaya, sederhana pun juga keren loh, justeru dengan berperilaku sederhana akan menenangkan hidup kita sendiri.