Dalam sejarah peradaban umat manusia, membaca dan menulis merupakan literasi yang dikenal paling awal. Membaca dan menulis merupakan bagian yang tak terpisahkan dari enam literasi dasar dan juga merupakan literasi fungsional serta berguna besar dalam kehidupan sehari-hari.
Saya turut berbahagia, ketika pada Senin 28 Februari 2023 yang lalu, turut hadir sebagai salah satu narasumber launching buku “Nyalakan Kebaikan: Sulawesi Memotret Anies Baswedan”. Acara yang diselenggarakan di sebuah kafe Rogar Cafe di kawasan Panakukang, Makassar tersebut dihadiri oleh komunitas anak-anak muda Makassar.
Buku ini ditulis oleh duo “Hasanuddin” muda, yaitu Ahmad Akbar dan Alfitra Mappunna, yang penuh inisiatif dan kreatifitas. Pun, saya hanya sebagai pemberi Kata Pengantar pada buku tersebut, turut hadir pula beberapa pembicara lain seperti tokoh Advokat Sulawesi Selatan Tadjudin Rahman, pegiat Pendidikan Sekolah Al-Fatih Ibu Peni Adnan Peni Setyowati, aktivis muda Rizki Ramdhani, serta alumni Indonesia Mengajar Muhammad Syahrudin.
Seolah saya “dejavu” dilorong waktu beberapa puluh tahun yang lalu, ketika saya melakukan penelitian antropologi masyarakat pesisir di kawasan Indonesia Timur khususnya di kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan, sehingga cukup mengenal karakter masyarakat Bugis-Makassar. Ada satu yang saya catat dalam benak sebagai prinsip: “Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang”. Bagi pelaut Bugis-Makassar, lebih memilih tenggelam di lautan daripada harus kembali lagi ke pantai tanpa hasil.
Atas prinsip di atas itulah, pun semenjak kedua penulis menyampaikan gagasan akan menulis buku tentang Anies Baswedan dalam perspektif tokoh-tokoh di Sulawesi Selatan, saya yakin ide tersebut akan tuntas terselesaikan. Oleh karenanya itu saya menyambut baik dengan memberi akses kepada mereka untuk menghubungi para tokoh untuk diwawancarai terkait pendapat dan pengalaman mereka berinteraksi dengan Anies Baswedan.
Secara umum, buku Nyalakan Kebaikan: Sulawesi Memotret Anies Baswedan memotret Anies Baswedan dalam perspektif kultur dan pendapat orang-orang Bugis-Makassar. Buku ini ditulis berdasarkan wawancara tokoh Sulawesi Selatan yang pernah berinteraksi dengan Anies Baswedan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Aspek yang dapat dinilai penting dan menarik dalam hadirnya buku Nyalakan Kebaikan: Sulawesi Memotret Anies Baswedan adalah semangat pencerahan teruntuk pembaca pada khususnya dan teruntuk masyarakat pada umumnya dalam menilai prinsip etika yang lahir dalam kehidupan bermasyarakat dengan meneropong ‘kehadiran’ Anies Baswedan di bumi Sulawesi. Bahwa bagi masyarakat Sulawesi Selatan, Anies Baswedan bukanlah sosok yang baru. Sosok Anies telah lama hadir di hati masyarakat Sulsel karena pertalian kesamaan gagasan mengenai ‘musti ke mana Indonesia’ dan juga kedekatan historis dengan sebagian besar tokoh Sulsel.
Sebagai sebuah karya tulis yang ditulis oleh generasi yang tidak berinteraksi langsung dengan mas Anies, perhatian penulis mengenai torehan pikiran dan rekam jejak Anies Baswedan di Sulawesi tentu banyak hal yang luput. Namun, hal itu tidak mengurangi kualitas buku ini. Kemampuan penulis melakukan harmonisasi dan kontekstualisasi pemikiran dan jejak perjalanan Anies Baswedan dengan nilai-nilai budaya dan ketaeladanan masyarakat Sulsel patut diacungi jempol. Apresiasi kepada penulis yang telah berhasil mengaitkan nilai-nilai budaya Siri Na Pacce ke titik-titik simpul muatan karakteristik buah pikir dan perilaku Anies Baswedan.