Lihat ke Halaman Asli

M Chozin Amirullah

Blogger partikelir

Pengelana yang Kembali: Sepenggal Cerita dari Tegalsari

Diperbarui: 30 Agustus 2023   04:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto : Dokumen Pirbadi/Istimewa

“Saking lamanya saya merantau dan bertemu dengan berbagai jenis tampilan fisik orang dan kecenderungan sifat-sifatnya, maka saya mudah menebak sifat seseorang hanya dengan melihat tampilan fisiknya”, begitu dikatakan Pak Rudi yang kini berumur di atas 70 tahun.

Pak Rudi saya temui di rumahnya, di Desa Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Desa tersebut adalah ‘petilasan’ kompleks pesantren terbesar pada abad ke-18. Tersebutlah nama pengasuhnya Ki Ageng Muhammad Besari yang melegenda sebegai Bapak pendiri pondok pesantren pertama di tanah Jawa.

Pak Rudi asli Tegalsari, ia salah satu diantara keturunan Ki Ageng Besari, entah dari generasi yang keberapa. Yang jelas pengalaman pendidikan dan berkelana semasa mudanya menunjukkan sosoknya yang sudah kosmopolitan di zaman itu.

Jaringan pertemanan dan pengelanaanya tak sebatas wilayah Ponorogo atau Jawa Timur saja. Sejak umur belasan tahun Pak Rudi sudah merantau ke Jogja untuk sekolah. Sekolah yang dipilih bukan sekolah negeri atau swasta Islam, melainkan sekolaha Katholik. Sebagai Muslim dia memilih di sekolah Katholik karena kualitasnya lebih bagus. Zaman itu memang hampir belum ada sekolah Islam yang dianggap berkualitas, banyak anak-anak tokoh Islam justru disekolahkan di sekolah milik yayasan Katholik.

Selesai dari Jogja, melanjutkan ke Malang. Masih untuk pendidikan. Awalnya masih di sekolah Katholik, lalu melanjutkan ke sekolah milik yayasan Islam.

Usai merantau untuk sekolah, perantauan Pak Rudi berlanjut. Ia merantau ke Surabaya, ke Bali, ke Salatiga, dan terakhir ke Klaten.

Ia menekuni bidang keahlian elektronik, bekerja di bengkel yang menyediakan jasa service barang-barang elektronik khususnya radio. Keahlian itulah yang membuatnya selalu survive di tempat perantauan.

Bahkan, keahlian itulah yang menjadikannya diambil mantu oleh pengurus Masjid di tempat perantauan terakhirnya di Klaten. Ceritanya, saat merantau di Klaten ia membuka jasa service sendiri, ia suka ke Masjid dan selalu memberikan jasa gratisnya untuk perbaiki sound Masjid. Tak lama kemudian, pimpinan takmir masjidnya suka sama dia dan akhirnya menikahkannya dengan anaknya.

“Zaman itu, memiliki keahlian service elektronik adalah sebuah kebanggaan. Masih jarang yang memiliki keahlian ini. Biaya service pun mahal, hingga penghasilan dari profesi ini cukup besar”, katanya.

“Saya menjalani profesi sebagai ahli service radio mulai dari zaman radio mamakai tabung besar, radio transistor, hingga zaman radio pakei IC (intergrated circuit)”, tambahnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline