Pagi itu (11/9/21) sengaja saya mengajak anak-anakku pulang kampung halamanku di Desa Tegalontar, Pekalongan, Jawa Tengah. Saya ajak mereka jalan-jalan ke sawah, saya demonstrasikan langsung cara membuat batu bata.
Mulai dari mengumpulkan tanah, mengairinya, menguletnya hingga menjadi liat, mencetaknya menjadi batu bata mentah, mengumpulkannya dalam rumah-rumahan dari atap rumbia, dan terakhir membakarnya. Itulah hari-hari yang dilakukan ayahnya semasa kecilnya.
Mereka harus tahu bahwa dulu, masa kecil ayahnya berbeda jauh mereka sekarang. Jika masa kecil anak-anakku penuh dengan peraga permainan, game digital, internet dan traveling, maka masa kecil ayahnya sangat jauh dari itu.
Berasal dari desa dengan rata-rata ekonomi keluarga masih di seputaran batas kemiskinan, membuat kami anak-anak desa terbiasa bekerja keras sejak kecil membantu orang tua di sawah.
Anak seumuranku rata-rata sudah harus ke sawah untuk mendapatkan uang sebagai kuli di sawah ataupun membantu pekerjaan orang tuanya.
Merantau dan berdagang tempe atau penjahit adalah cita-cita tertinggi kami waktu itu, karena suatu saat jika beruntung bisa menjadi bos tempe atau bos konveksi.
Saya mungkin dari diantara sebagian kecil pengecualian, bercita-cita tidak sebagaimana umumnya anak-anak seumuranku. Cita-citaku waktu itu pengen memiliki gelar akademik yang lebih dari pada namaku.
Tapi sebagaimana anak-anak kecil lainnya, saya tetap harus memualinya dari sawah. Saat musim hujan dan banyak air kami ke sawah untuk membajak sawah, menyiapkan bibit, menanami, merawat dan kemudian memanennya.
Saat musim kemarau, di mana sawah-sawah kering dan tidak bisa ditanami, kami tetap pergi ke sawah untuk membuat batu-bata. Seharian berpanas-panas ria mengolah tanah liat menjadi batu bata. Butuh proses berbulan mengumpulan hasil cetakan batu bata mentah itu untuk kemudian dibakar dan dijual ke pembeli.
Berprofesi sebagai pembuat batu-bata, kami sering berkelakar menertawakan kondisi ekonomi kami.