Virgo yang ini bukan nama rasi bintang, melainkan nama umum untuk tukang cukur. Anda yang hobinya cukur rambut di salon, di mal atau barbershop yang merk-nya keinggris-inggrisan, pasti tak pernah mendengar istilah Pangkas Rambut "Virgo" bukan? Tapi jika Anda adalah pelanggan atau pernah menjadi pelanggan pangkas rambut di bawah pohon beringin atau kios pangkas rambut di pinggir jalan, Anda pasti familiar dengan istilah tersebut. Presiden RI ke-4 KH Abudrrahman Wahid (Gus Dur) sampai semenjak menjadi ketua umum PBNU sampai menjadi presiden, beliau adalah salah satu pelanggan setia pangkas rambut 'virgo' di bilangan Pasar Senen.
Tahukah Anda apa artinya Virgo? Virgo adalah singkatan dari vivir cingongo (bahasa Sunda) yang artinya kurang lebih (bercukur) di pinggir rumah sambil jongkok. Dulu ceritanya desa-desa di Garut itu jaraknya jauh dari kota, sehingga untuk sekedar cukur rambut mereka musti perjaanan jauh ke kota. Atau jika tidak, mereka biasanya musti menunggu tukang cukur keliling yang datangnya jarang-jarang. Hal inilah yang membuat orang-orang jarang bercukur sehingga rambutnya panjang-panjang.
Akhirnya pada suatu waktu, timbullah inisiatif dari kalangan anak muda waktu itu untuk mencoba-coba saling-cukur. Salah satu belajar mencukur, yang jadi obyek cukurnya teman atau anggota keluarga. Proses mencukurnya tidak di kios cukur ataupun barbershop, melainkan di halaman rumah sendiri, sambil nongkrong. Makanya diistilahkan dengan vivir cingogo dan kemudian disingkat dengan 'virgo'. Lama-kelamaan kebiasaan saling mencukur itu menjadi budaya, sehingga orang garut hampir pasti bisa mencukur.
Setidaknya itulah cerita dari Kang Deni, tukang cukur asli Garut, tukang cukur virgo yang sudah 9 tahun di Pulau Bangka. Jauh-jauh menyeberang lautan ke Bangka, ketemunya dengan tukang cukur Asgar juga. Asgar adalah singkatan dari Asli Garut, sebuah istilah yang sering digunakan untuk menyebut perantauan asal Garut. Memang, Garut dikenal bukan hanya makanan dodolnya saja, tetapi juga sebagai pengekspor skilled labor di bidang teknik 'memanen rambut'.
Dalam versi yang lain, sejarah diaspora laskar Asgar semakin menggurita seiring dengan terjadinya pemberontakanDI/TII menjelang akhir tahun 1940-an. Karena terjadi kekacauan, banyak orang dari desa-desa di sekitar Garut yang merantau ke kota lain. Sebagaimana disampaikan oleh Ali Rahman (51) yang dikutip oleh kumparan.com, Untuk bertahan hidup, mereka di antaranya memilih menjadi tukang pangkas rambut dan sukses. Melihat kesuksesan ini menarik warga yang lain untuk mengikuti jejaknya, merantau-mengadu nasib dengan 'berburu kepala'. Fenomena ini khususnya terjadi bagi warga desa Banyuresmi, Wanaraja dan sekitarnya yang mengikuti jejaknya sebagai tukang pangkas rambut.
Pangkas Rambut Virgo Kang Deni
Saya bertemu dengan Kang Deni saat sehari sebelum lebaran, saat mudik di kampung halaman istri, di Sungailiat, Provinsi Kepulaun Bangka-Belitung. Waktu kecil, di kampung saya selalu ada sebuah tradisi buat yang laki-laki, yaitu cukur rambut sebelum berlebaran. Tradisi itu mulai memudar, saya pun sudah jarang mempraktikkannya lagi. Tetapi sore itu saya ingin mengenangnya kembali. Saya mau cukur rambut menyambut lebaran 1438H.
Sore itu, menjelang buka puasa terakhir bulan Ramadhan, saya berniat bercukur. Setelah berkeliling dan ketemu dengan beberapa tukang cukur, saya berhenti di salah satu tukang cukur yang kemudian kuketahui namanya Kang Deni. Antreannya sudah tidak terlalu panjang sehingga saya memutuskan berhenti di situ. Letaknya di jalan Sam Ratulangi, Sungailiat.
Pangkas rambut virgo tidak selalu dikasih branding tulisan Virgo. Banyak juga yang tidak ditulisi kata Virgo, tetapi cukup dengan tulisan pangkas rambut saja. Karena virgo sebenarnya bukan nama merk, tetapi hanya istilah saja. Istilah untuk pangkas rambut yang pemiliknya berasal asli garut (Asgar). Kadang branding-nya bahkan dengan menggunakan kata lain. Tetapi tak jarang juga yang secara eksplist menggunakan brand Virgo-nya.
Pangkas rambut milik Kang Deni termasuk yang tidak menggunakan branding virgo secara eksplisit, hanya ditulis dengan huruf kecil Pangkas rambut. Itu saja. Saya berada di antrean ketiga. Pengerjaan satu antrean saya lihat lumayan memakan waktu. Bukan karena tak cakap mencukur, tetapi karena saya lihat pelayannya memang serius. Setelah semua rambut dipangkas, ada tahap finishing berupa pengerokan pada bagian-bagian pinggir yang belum rapih dengan pisau cukur. Dan satu lagi, service tambahan berupa pijitan di kepala, kening dan tengkuk. Agar licin, sebelumnya diolesi dengan baby oil. Setelah itu, selesailah semua proses pencukuran, baby powder ditaburkan sedikit-sedikit pada bagian leher dan tengkuk yang masih terdapat sisa-sisa rambut. Tujuannya agar rambut mudah dibersihkan dengan kuas dan kadang spon.
Bagi saya, pijitan adalah nilai plus. Makanya saya sebut sebagai cukur plus. Kang Deni akan menawarkan pijitan ini pada pelanggan setelah selesai mencukur. Jika iya, maka dilanjutkan, jika tidak maka selesailah seluruh proses cukur. Seluruh proes itu terasa sebentar karena sambil ngobrol. Rupanya, Kang Deni orangnya cukup terbuka dan demen ngobrol. Katanya sich, tukang cukur Asgar memang memiliki sifat yang hampir sama, yakni gemar bercerita kepada pelanggannya. Itu menjadi ciri khas mereka, barangkali.
Di Pulau Bangka, Kang Deni tak sendirian. Adik kandungnya mengikuti jejaknya mengadu nasib, tetapi di wilayah lain di Pulau Bangka. Mungkin juga banyak Asgar lain di tempat lain di Bangka. Lebaran kali ini mereka tidak pulang. Mereka hanya pulang dua tahun sekali. Lebaran kali ini orang yang mau cukur rambut justru banyak. Seharian dia tak henti-hentinya orang ngantre untuk dicukur. "Kami buka sampai jam 11 malam nanti, jadi jangan kuatir-lah. Pulang dulu, nanti bisa balik lagi ke sini," pesannya kepada pengantre.
Bagi Kang Deni, Pulau Bangka ini menjadi tujuan akhir perantauannya. "Alhamdulillah, rejeki saya di sini. Khusus menjelang lebaran ini, saya dapat penghasilan banyak. Kaya mendadak sehari ha ha ha," kelakar Kang Deni.
Di sini dia sudah menikahi wanita lokal dan sudah diberi momongan. Meskipun kini masih mengontrak, ia berniat untuk suatu saat bisa membeli tanah dan rumah sendiri. Makanya ia bekerja keras, sebagian untuk biaya hidup, sebagian untuk dikirim kepada orang tuanya di Garut dan sebagian lagi ditabung untuk rumah dan pendidikan anak-anaknya.
Baginya, merantau ke Bangka tidak musti bekerja di pertambangan timah, bertani lada, ataupun pekerja perkebunan sawit. Merantau ke Bangka bisa banyak peluang pekerjaan lainnya. Kuncinya satu, punya keterampilan yang banyak orang membutuhkannya.