Lihat ke Halaman Asli

M Chozin Amirullah

TERVERIFIKASI

Blogger partikelir

"In Memoriam" Ridwan Baswedan

Diperbarui: 31 Mei 2017   22:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kami bertiga, bersama Nenek di ruang tamu rumahnya. Di hari Kartini, sore itu kami khusus datang ke rumah Nenek utk foto bersama. Berdiri di kiri Ridwan (smp), Abdillah (sd) di tengah dan sy (sma) berdiri sisi kanan," tulis akun @aniesbaswedan. (https://today.line.me)

Masih terpatri dengan kuat dalam ingatanku, kecakapannya saat memimpin pergerakan mahasiswa menjelang tahun 1998 di Yogyakarta. Rangkaian rapat-rapat antar organisasi kampus mempersiapkan demonstrasi, sosoknyalah yang paling kuingat. Sosok itu mudah kuingat bukan hanya karena jabatannya sebagai ketua Dewan Mahasiswa UII, tetapi juga cakap dalam penguasaan forum. Tak berapi-api, tak terlalu banyak kata-kata dan tak perlu sedikit-sedikit menyela, tetapi saat bicara terlihat yang lain hening menyimak. Itu tandanya dia memang punya karisma. 

Sosok itu adalah Ridwan Baswedan, yang baru saja meninggalkan kita untuk selamanya pada malam hari pertama Ramadhan lalu. Mas Iwan, biasa dipanggil, waktu reformasi adalah salah satu figur sentral gerakan mahasiswa menentang rezim Orde Baru. Di HMI, nama itu sepantaran dengan tokoh-tokoh intrakampus kader HMI seperti Ridaya Laode Ngkowe (Ketua Senat UGM), Heni Yulianto (Ketua BEM UGM), Ardi Majo Endah (UII), Idrus Syarifuddin (UIN Suka), Lely Khair Nur (UIN Suka), Yana Aditya (UMY) dan nama-nama besar lainnya yang tak mungkin disebut satu per satu. Nama-nama itu adalah referensi bagi kita-kita yang waktu itu masih sebagai mahasiswa baru.

Pasca Reformasi, saya masih melanjutkan kuliah di UGM, Mas Iwan sesuai angkatannya, sudah menyelesaikan kuliah terlebih dahulu. Tak banyak kabar saya dengar mengenai Mas Iwan selain bahwa beliau melanjutkan kuliah ke Belanda kemudian pulang ke Indonesia berkecimpung di bisnis. Demikian pula saat saya selesai kuliah dan kemudian tinggal di Jakarta, tak sering berinteraksi lagi dengan beliau. 

Perjumpaan intens kemudian terjadi mulai tahun 2013 saat Anies Baswedan, yang tiada lain adalah kakak kandungnya langsung, 'berlaga' di arena Konvensi Partai Demokrat. Saya kebetulan ikut mengelola relawan turun tangan yang waktu itu full support Mas Anies. Kami mengorganisasi relawan yang jumlahnya tak kurang dari 50 ribu itu. Mas Iwan sering membantu kami. Beliau biasanya hadir saat debat kandidat yang dilangsungkan di beberapa kota. Konvensi telah memberikan pengalaman politik yang tidak sedikit bagi kami.

Saya masih ingat, Mas Iwan biasanya membantu pengorganisasian relawan bersama saya. Pernah ada suatu kejadian menarik, kira-kira 3 tahun yang lalu, waktu itu final debat kandidat di Hotel Sahid, Jakarta (27 April 2014). Dikarenakan ketatnya pengamanan, saya kesulitan untuk memasukkan relawan yang akan masuk menjadi supporter debat. Semua pintu sudah diblok oleh tim pengamanan yang berseragam. Padahal, biasanya saya punya trik-trik tertentu untuk memasukkan relawan ke dalam ruangan, tetapi kali ini semua trik sudah mentok, saya sudah tak mampu menembus. 

Beruntunglah waktu itu ada Mas Iwan. Saya minta bantuan beliau untuk ‘menggertak’ balik petugas keamanan. Makanya saya bilang, memang Mas Iwan itu punya karisma khusus sejak masih mahasiswa dulu. Akhirnya Mas Iwan yang menghadapi tim keamanan tersebut. Beliau sendiri juga yang akhirnya berdiri menahan daun pintu agar tetap terbuka hingga relawan bisa semuanya masuk ke ruangan. 

Pasca Konvensi, kami mendapat amanah bergabung dalam tim kampanye Presiden Jokowi. Mas Iwan masih sekali-sekali membantu kami, meski tidak seintensif sebelumnya. Kesibukan bisnisnya mungkin menyita banyak waktunya. Pun saat Mas Anies menjabat menteri pendidikan dan kebudayaan, saya sebagai staf khusus Menteri, jarang sekali melihat Mas Iwan bertandang ke kantor Kementerian. 

Jumlah kunjungannya bisa dihitung dengan jari. Padahal, di kementerian lain beberapa kali saya dengan cerita, adik seorang menteri biasanya sering ‘main’ di Kementerian. Tetapi hal ini tidak dilakukannya. Ini yang saya rasakan ciri khas keluarga Baswedan, berusaha selalu menjaga integritas dan tidak saling 'ngribeti' ketika ada saudaranya sedang mendapat amanah memimpin di suatu institusi. 

Baru ketika Pilkada DKI 2017 kemarin, Mas Iwan kembali terlibat intensif. Mas Iwan bergabung dalam tim pemenangan Anies-Sandi dan terjun langsung ke lapangan. Beliau adalah yang mengatur komunikasi dengan relawan, dan termasuk mengatur jadwal kunjungan kampanye Mas Anies. Posisi tersebut memang pas dengan karakter beliau yang memiliki sifat ‘ngemong’ dan mau mendengar. Inilah sifat khas dari Mas Iwan yang kami dan seluruh relawan selalu ingat. Beliau orangnya tidak pernah marah, suka mendengarkan dan menjadi penengah jika ada yang berkonflik. Tahu sendiri, intensitas dan jumlah relawan yang sangat banyak menjadikan percikan-percikan konflik internal tak bisa dihindari. Mas Iwan adalah mediator yang handal, biasanya saya mengandalkan beliau untuk menengahi dan meredakan konflik-konflik tersebut. 

Hari itu, menjelang berakhirnya putaran pertama kampanye, saat di lapangan mendampingi Mas Anies kampanye, Mas Iwan merasakan sesak di dada. Hari berikutnya, teparnya 25 Februari 2017, beliau di rawat di Rumah Sakit Pondok Indah, kemudian dipindahkan ke RS Harapan dan berakhir di RSCM Salemba. Dokter memvonis beliau terkena serangan jantung yang kemudian berujung pada komplikasi infeksi di paru-parunya. 

Saya mendapat pesan dari adindanya, Abdillah Baswedan, agar mengabarkan kepada relawan bahwa Mas Ridwan off dari kampanye karena sedang dirawat. Mohon doa dari seluruh relawan semuanya. Begitulah kira-kira isi pesan yang saya kirim ke grup-grup WhatsApp relawan. Para relawan sedih, saat itu pun kami sudah mulai merasa kehilangan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline