Lihat ke Halaman Asli

M Chozin Amirullah

TERVERIFIKASI

Blogger partikelir

Mencari Ruang Baru dalam Dimensi Kebudayaan

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kebudayaan secara sederhana dapat kita maknai sebagai hasil kreasi manusia (budi dan daya) yang mengandalakan kekuatan cita, rasa dan karsa sehingga mempunyai nilai bagi kemanusiaan. Ketika kita bicara mengenai budaya atau kebudayaan, kita akan bicara tentang hal-hal yang berada di sekeliling kita, melingkupi kita dan bahkan mengungkung kita. Ibarat ikan yang membicarakan air, maka seburuk apapun pendapat ikan terhadap air, ia tidak akan bisa menghindari diri dari air (kecuali kalau ia mau mati). Bahkan ia hidup dalam air, dari air dan oleh air, sampai kapanpun kebudayaan akan mengungkung manusia. Manusia mencari, menemukan, memepersoalkan, memepertahankan, mengapresiasikan budaya untuk semakin merasakan kemanusiaannya.

Lalu orang mencoba menjaga jarak dengan budaya agar bisa melihat budaya dengan kaca mata (yang dianggapnya lebih obyektif). Kemudian lahirlah penelitian-penelitian mengenai budaya, budaya sebagai obyek studi yang tak habis-habisnya dikaji. Sebagaimana manusia, ia menjadi obyek studi dari dirinya sendiri tanpa akhir, hanya akan berakhir jika dan hanya jika manusia itu berakhir.

Munculnya perbadingan-perbandingan antar budaya melahirkan pembedaan-pembedaan dan ada penilaian. Lahirlah penilaian antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya, dengan menggunakan standarnya masing-masing. Ada sebuah anekdot yang pernah dikemukakan oleh Levi-Strauss (1908-1988) untuk menunjukan adanya perbandingan ini:  "Beberapa tahun setelah penemuan benua Amerika oleh Columbus, orang-orang Spanyol mengirim komisi penyelidik ke wilayah Antilla raya untuk meneliti apakah penduduk pribumi memeiliki nyawa atau tidak. Para penyelidik itu akhirnya kemudian ditawan oleh pribumi dan dibunuh dengan cara ditenggelamkan untuk mengetahui apakah mayatnya bisa membusuk atau tidak."

Penilaian terhadap satu budaya terhadap budaya yang lain melahirkan standar mengenai tingkat kemajuan peradaban dari berbagai model komunitas di berbagai belahan bumi. Muncul pula istilah budaya maju versus budaya terbelakang, budaya adiluhung versus budaya kacangan, budaya modern versus budaya primitif, dan sebagainya yang sebenarnya semua penilain itu tidak terlepas dari pengaruh keinginan manusia untuk berkuasa. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Antonio Gramsci (1891-1937), bahwa pada dasarnya pada tiap individu ada keinginan untuk melakukan dominasi (hegemoni) sehingga melahirkan persaingan antar manusia.

Relasi Budaya dan Kekuasaan

Menurut  Gramsci, adanya persaingan antar manusia untuk berkuasa mendorong adanya kerja sama antar beberapa manusia (berdasarkan ikatan apapun) untuk memenangkan persaingan tersebut. Tujuannya jelas: agar bisa melakukan hegemoni, meskipun sebenarnya dalam kerja sama (aliansi) tersebut  persaingan antar anggotanya masih juga berlangsung. Akibat persaingan ini tentu ada yang menang dan ada yang kalah, yang akhirnya akan  membentuk struktur sosial. Kelompok yang menang akan melakukan dominasi (hegemoni) terhadap kelompok yang dikalahkannya. Pada cakupan yang lebih besar, kelompok yang bisa melakukan dominasi ini menjadi sebuah institusi yang disebut “negara”. Rakyat adalah sebutan untuk mengkategorikan orang-orang yang berhasil dihegemoni.

Untuk mempertahankan kekuasaannya, kelompok yang hegemonik ini  akan menggunakan berbagai cara dan perangkat untuk memepertahankan kekuasaannya. Perangkat tersebut bisa berupa aparat keamanan (militer), birokrasi, perundang-undangan dan sebagainya. Sebaliknya pada individu-individu yang dihegemoni juga akan melakukan kerja sama untuk melakukan counter hegemonic dengan berbagai cara pula. Terjadilah pertarungan secara tidak sadar antara dua blok ini yang mewujud dalam kehidupan politik.

Seringkali apabila kekuatan hegemoni ini terlalu kuat sementara tak ada perimbangan dari kelompok kontra hegemonik, akan menyebabkan terjadinya penindasan. Dan dalam keyakinan Gramsci, hegemoni (kekuasaan) sangat identik dengan penindasan. Oleh karena itu harus ada penguatan secara-terus menerus pada kelompok kontra hegemonik agar penindasan bisa dihindari. Dalam konteks sekarang gerakan-gerakan demokrasi untuk penguatan civil society merupakann salah satunya.

Budaya sebagai bagian yang sudah pasti akan memepengaruhi pola pikir dan cara hidup manusia merupakan faktor penentu dalam struktur sosial. Keberadaannya tidak terlepas dari adanya pengaruh kekuatan penguasa yang sedang berkuasa. Jadi, ragam budaya tidak bisa terlepas dari struktur kekuasaan yang sedang menghogemoni saat itu.  Tak ada budaya yang bisa benar-benar netral!

Bagi kekuasaan maka budaya akan dijadikan sebagai agen-agen yang akan memperkokoh dan melanggengkan kekuasaan tersebut (status quo). Untuk memeprthankan kekuasaannya penguasa akan melakukan kontrol terhadap kebudaan paling sedikit dengan menggunakan tiga cara :

1.Penentuan Nilai

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline