Lihat ke Halaman Asli

M Chozin Amirullah

TERVERIFIKASI

Blogger partikelir

Kemewahan Menjadikan Tumpul Sosial

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Penghujung Juli 2010, saya mendapat undangan mengisi sebuah acara di Bogor. Mengajak seorang kawan, kami berangkat ke Bogor menggunakan KRL (Kereta Api Listrik). Perjalanan Jakarta-Bogor ditempuh dalam waktu lebih kurang satu jam.

Sebagaimana kita sudah maklum, KRL Jakarta-Bogor adalah kereta yang paling padat penumpangnya. Ribuan manusia dijejalkan dalam rangkaian gerbong-gerbong, yang setiap hari bertugas membawa lebih kurang 500 ribu commuter menuju Jakarta.

Naik dari stasiun Manggarai, kami tak punya peluang lagi mendapatkan tempat duduk. Kami berdiri, berhimpit-himpitan, berjubel menuju Bogor. Beruntung, kereta yang kami naiki ber-AC, sehingga meskipun berjubel suhu udaranya masih tetap dingin.

Kereta berjalan meninggalkan stasiun, aku yang baru saja masuk mencoba menyesuaikan letak pijakan kakiku agar tidak terlalu berhimpitan dengan penumpang lain. Ini adalah cara paling lumrah dilakukan, berdiri dengan posisi yang efisien, tangan pegang handel yang pas, dan usahakan untuk sesedikit mungking berdesakan. Sebab semakin banyak desakan langsung, semakin banyak tenaga yang terkuras untuk mempertahankan posisi tegak badan.

Beberapa menit kereta berjalan, aku masih belum juga mendapatkan posisi stable-ku. Di bagian belakangku masih terasa orang-orang mendesak-desakku ke depan. Desakan itu akan semakin keras ketik kereta direm atau berbelok. Aku tengok ke belakang, ternyata sosok laki-laki muda tepat berdiri di belakangku. Ia mengenakan tas punggung, dan tas itulah yang dari tadi mendesak-desakku.

Kutatap orang itu, tak ada reaksi…! Tak tersirat diwajahnya perasaan bersalah terhadapku, karena telah mendesak-desakku. Aku mulai berpikir,… jangan-jangan dia tidak sadar bahwa dia telah berkali-kali mendesakku.

Aku coba tatap sekali lagi,…tetap tidak ada reaksi. Dan benar,….orang itu benar-benar tidak sadar kalau dia telah melakukan sesuatu yang merugikanku. Seandainya ia tahu, aku yakin dia akan minta maaf dan tidak akan melakukan lagi.

Pertanyaannya, kenapa orang itu tidak sadar? Jawabannya, karena tas punggunya telah menghalangi kepekaannya. Tas punggung itu telah menciptakan jarak antara dirinya dengan saya. Tas punggung itu pula yang menjadikan dia tidak peka, tas itu telah menjadi penghalang untuk merasakan jika ia telah mendesakku.

Pelajaran yang dapat kita petik dari kejadian di atas adalah, seringkali kita menjadi tidak peka dengan penderitaan rakyat kita karena kita sudah terlalu nyaman. Hidup yang terlalu nyaman akan menyebabkan kita tumpul akan penderitaan orang lain. Hidup dalam keserbamemewahan akan menjadikan kita berjarak dengan orang-orang. Kita tidak pernah sadar jika ada kemungkinan orang lain yang justru akan menjadi obyek penderitaatas kemewahan yang kita raih.

Sebagai contoh sederhana, jika kita naik mobil mewah, sebenarnya secara tidak disadari mobil itu telah menciptakan jarak antara diri kita dengan kenyataan masyarakat pada umumnya. Kita tidak lagi berpikiran apakah mobil yang kita naiki tersebut telah menyebabkan penderitaan bagi orang lain atau tidak. Kita tidak pernah berpikir bahwa gas buangan yang dihasilkan oleh mobil mewah kita telah menyebabkan orang-orang yang berada diluar mobil harus menanggung akibat oleh emisi karbon yang keluar dari mobil kita. Atau minimal, sementara kita nyaman dalam mobil yang ber-AC tersebut, kita tidak pernah tahu bahwa mobil itu telah menyebabkan panas bagi orang-orang yang tidak menaikinya.

Hal-hal sebagaimana di atas pulalah yang sebenarnya diidap oleh para kapitalis pemilik modal itu. Dengan kekuatan modal yang kuat, mereka bisa melakukan investasi di mana saja. Mereka menikmati keuntungan dan kenyamanan hidup dengan “berternak” uang, dan hidup mereka hanya berkutat dari satu hotel ke hotel lain, dari satu kafe ke kafe yang lain. Mereka tidak pernah tahu jika atas uang yang mereka investasikan, pabrik-pabrik yang dioperasikannya telah membunuh warga lokal, menyerobot tanah warga, menyedot sumber daya alam secara eksersif, dan bahkan menyebabkan perusakan ekosistem yang memusnahkan habitat alam. []




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline