[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi - Bangkai kapal Baracuda Jaya III di Pelabuhan Muara Angke, Rabu (4/6/2014). (KOMPAS.COM/ABBA GABRILLIN)"][/caption] Jakarta (11/08/2014). Bersama para staf Biro Perekonomian Pemprov DKI Jakarta, saya mendapatkan kesempatan berkunjung ke kawasan Pelabuhan dan Perikanan Muara Angke, Jakarta Utara. Saya kebetulan di-hire sebagai konsultan untuk sebuah project koordinasi penataan kawasan perikanan Muara Angke. Sebagai konsultan, saya diberi kesempatan bergabung dalam tim kunjungan kerja tersebut. Rombongan yang berjumlah sekitar 10 orang, dipimpin langsung oleh Bapak Didik Djoenaedi, Kepala Bagian Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan Biro Perekonomian DKI Jakarta. Lokasi Muara Angke terletak di pantai utara Jakarta, yang dibatasi oleh Kali Angke di sebelah barat dan selatan, jalan Pluit di sebelah timur, dan laut Jawa di bagian utara. Dari Muara Angke inilah biasanya para pelancong yang akan piknik ke Pulau Seribu diberangkatkan. Setelah bertahun-tahun kawasan ini merupakan kawasan kumuh, sejak Jokowi menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, kawasan ini mulai dibenahi dan sudah terlihat hasilnya. Gubernur Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan Instruksi Gubernur Nomor 34 tahun 2012 tentang Pelaksanaan Penataan Dan Pengembangan Pelabuhan Perikanan Muara Angke. Instruksi ini sebagai landasan yuridis dan menjadi pedoman bagi SKPD dalam melaksanakan penataan di kawasan Muara Angke secara terpadu.
Beberapa permasalahan yang selama ini ada di kawasan Muara Angke di antaranya adalah terkait dengan masalah penempatan pelabuhan pendaratan ikan, tempat pelelangan ikan, pasar tradisional, pemukiman, penyelesaian sampah, terminal dan akses transportasi disekitar kawasan Perikanan Muara Angke Kami berangkat dari kantor Pemprov DKI Jakarta menggunakan bus mini sekitar pukul 09.00 WIB. Diperlukan sekitar satu jam bagi kami menembus liku-liku jalan Jakarta yang macet untuk mencapai lokasi. Sesampai di lokasi, kunjungan pertama adalah ke kantor UPT (Unite Pelaksana Teknis) Pengelolaan Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendarata Ikan Muara Angke. Kami disambut langsung oleh Kepala UPT Nugroho S. Sebagaimana dipaparkan oleh Pak Nugroho, banyak permasalahan yang harus diselesaikan di kawasan Muara Angke. Di antaranya adalah terkait dengan permukiman nelayan yang - meskipun sebagian sudah ditertibkan - masih perlu dilanjutkan prosesnya. Penertiban permukiman akan dipindahkan ke rumah susun. "Terdapat lebih dari 30 ribu penduduk yang menggantungkan hidupnya di Muara Angke," kata Pak Nugroho. Di samping itu padatnya kapal yang berlabuh di Pelabuhan Muara Angke menjadikan suasana crowded dan rawan terhadap kebakaran. Kapal-kapal tersebut, di samping kapal nelayan, adalah kapal-kapal ojek yang digunakan untuk pengangkutan dari Jakarta ke Pulau Seribu. Terdapat 41 kapal ojek penumpang wisata yang berlabuh di Muara Angke yang luasnya hanya 6 ha. Pak Nugroho bercerita, saking padatnya, pada tahun 2010/2011 pernah ada kebakaran, karena ada yang lupa buang puntung rokok, masak dan sebagainya kelupaan sehingga menimbulkan kebakaran. [caption id="attachment_319096" align="aligncenter" width="300" caption="padatnya kapal"]
[/caption] Sekilas tentang kapal ojek, kapal ini adalah perahu tradisional dari kayu yang dipergunakan oleh penduduk untuk mengangkut wisatawan dari Jakarta ke Pulau Seribu. Sebenarnya dari pihak Dinas Perhubungan sudah menyediakan pelabuhan dan kapal angkutan resmi untuk wisatawan, namun kenyataannya wisatawan lebih banyak yang suka menggunakan kapal ojek ini untuk pergi ke Pulau Seribu. Sebagai informasi, dahulu Muara Angke merupakan kawasan yang luas, lebih dari 200 ha. Namun sekarang sekarang sudah menyusut dan hanya tersisa 60-an ha akibat adanya tukar guling pada zaman Orde Baru. Pantai Indah Kapuk yang dulunya merupakan pelabuhan perikanan ditukar guling menjadi kawasan perumahan dan industri. Pelabuhan, Sampah, dan Pasar Ikan Selanjutnya, untuk mengenali lebih jauh permasalahan yang sudah didiskusikan bersama pimpinan UPT, kami meninjau langsung lokasi yang dianggap sebagai objek permasalahan. Perjalanan dimulai dengan meninjau Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke dan tempat pelelangan Ikan. Pelabuhan ini sangat strategis yang disiapkan untuk menampung kegiatan perikanan yang tersebar di beberapa lokasi, yaitu Bintang Mas, Pasar Ikan Sunda Kelapa, Muara Angke, Kalibaru, Marunda dan Kali Kresek. Perkembangan aktivitas produksi ikan yang dilakukan oleh nelayan di Muara Angke cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir ini. Pada tahun 2010 produksi ikan sekitar 17.269.059 kg, sedangkan pada tahun 2013 menjadi 21.342.255 kg. Selain produksi ikan yang meningkat, di PPI juga dipadati oleh kapal-kapal penangkapan ikan yang berukuran di atas 30 GT yang melakukan bongkar-muat. Secara aspek sosio-kultur, nelayan di Muara Angke agak berbeda karakternya dengan nelayan-nelayan di daerah lain seperti di Cirebon, Tegal, dan lain-lain. Rata-rata nelayan di Muara Angke bukan nelayan asli setempat sehingga ketika dalam suasana lebaran mereka banyak pulang ke daerah masing-masing sehingga di pelabuhan akan dipadati kapal-kapal yang ditinggalkan sementara oleh nelayan. Begitu padatnya kapal yang bersandar terkadang menimbulkan resiko akibat keteledoran para nelayan yang membuang puntung rokok sembarangan sehingga terjadi kebakaran yang menimpa kapal-kapal mereka. Setelah selesai meninjau PPI, dilanjutkan melihat pasar tradisional yang tampak begitu kumuh dan tidak beraturan. Banyak terdapat sampah-sampah yang menumpuk sehingga bisa mengganggu kenyamanan masyarakat yang berkunjung. Sampah tidak hanya terlihat di sekitar pasar, tetapi juga di jalan-jalan di sekitar tempat pengeringan ikan. Banyaknya sampah-sampah yang berserakan karena belum ada kesadaran dari masyarakat Muara Angke akan pentingnya menjaga kebersihan pasar. Mereka selama ini lebih mementingkan apa yang mereka dapatkan dari berjualan namun tidak memikirkan lingkungannya. Setidaknya, itulah kesimpulan dari Pak Nugroho menanggapi ketidakpedulian masyarakat terhadap persoalan sampah.
[tumpukan sampah tak terurus] Selain permasalahan sampah, di sekitar pelabuhan juga masih ada pembangunan lapak-lapak pedagang kaki lima, yang tidak berkoordinasi dengan pemerintah setempat. Akibatnya, lapak-lapak tersebut memenuhi jalan dan menyebabkan kemacetan. Tidak jarang, lapak juga dijadikan sebagai rumah tinggal oleh pembuatnya, sehingga menyebabkan kekumuhan dan mengganggu kenyamanan pengguna jalan. Lapak-lapak ini sulit dikontrol karena di-back-up oleh preman-preman setempat yang mengambil keuntungan dari mengutip uang keamanan dan atau kebersihan dari para pedagang. Pemprov DKI Jakarta berencana akan memindahkan pasar lama ke tempat pasar baru. Didampingi oleh petugas dari UPT, kami juga mengunjungi bangunan yang akan dijadikan sebagai pasar baru. Bangunan tersebut nampak sangat luas. Seorang petugas yang memandu kami mengatakan bahwa rencananya, pasar grosir ikan tersebut akan menjadi grosir ikan terbesar di Asia Tenggara. Waaaw....!
[bangunan bakal pasar baru]
Perjalanan dilanjutkan melihat kondisi permukiman penduduk. Dahulu memang kondisi permukiman di kawasan pelabuhan Muara Angke sangat memprihatinkan, selain kumuh, masyarakatnya juga tidak disiplin sering terjadi kriminalitas. Namun semenjak kepemimpinan Jokowi, pemerintah telah membuat beberapa rumah susun (rusun) yang itu diperuntukkan bagi masyarakat setempat. Nampak ada beberapa rusun sudah dibuat dan ditempati, ada juga yang masih dalam tahap pembebasan lahan. Perjalanan akhirnya kamu sudahi dengan makan siang di sebuah resto di atas laut bernama Sinar Muara Angke. Lokas restoran tersebut tepatnya di Jl. Dermaga no. 2 Telp. 021-6615904, cie promosi neh...! Kami meninggalkan lokasi sekitar pukul 14.00 untuk selanjutnya kembali ke kantor Pemprov. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H