Lihat ke Halaman Asli

Chairul Anwar

Penulis lepas

Pemilu = memilih koruptor?

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

RAKYAT sudah maklum jika tahun 2013 ini disebut sebagai “Tahun Politik”. Setiap partai politik (parpol) sudah berlomba-lomba mendulang suara dengan berbagai intrik. Tahun depan pemilihan umum (pemilu) dilaksanakan. Pesta demokrasi itu akan memilih calon-calon legislator yang akan duduk di parlemen dalam lima tahun ke depan.

Bukan cuma parpol yang sedang balapan. Orang-orang yang berminat menjadi calon anggota legislatif (caleg) juga sudah pasang badan. Entah memang demikian nikmatnya duduk di kursi dewan, sejumlah kepala desa di suatu daerah pun sampai berlomba-lomba mendaftarkan diri sebagai calon anggota dewan. Konon, satu-satunya profesi yang menjanjikan masa depan selain menjadi PNS adalah menjadi anggota dewan.

Hitungan mundur mendekati 2014 kian mendekat. “Profesi” legislator terus diburu peminat. Parpol dan bakal caleg sibuk bersepakat untuk “menghitung” kompensasi yang nantinya akan didapat. Rakyat dirayu dengan gerakan parpol yang terus menggeliat, yang—katanya—menawarkan program untuk kemakmuran rakyat. Ada juga yang mengusung slogan bahwa berbagai korupsi akan disikat.

Tapi, membaca temuan dan hasil riset tipologi pada semester II tahun 2012 oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bisa membuat rakyat sakit hati. Sebanyak 69,7 persen anggota legislatif terindikasi melakukan tindak pidana korupsi. Dari angka itu, 10 persen dilakukan oleh ketua komisi. Dari 35 modus yang digunakan, transaksi tunai yang terdiri dari penarikan tunai sebanyak 15,59 persen dan setoran tunai sebanyak 12,66 persen, adalah modus yang paling mendominasi.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), pada akhir April tahun lalu juga merilis, sepanjang tahun 2004 hingga 2012, sudah dikeluarkan izin pemeriksaan terhadap 2.976 anggota dewan provinsi dan kabupaten/kota. Rinciannya,  2.545 izin pemeriksaan untuk anggota DPRD Kabupaten/Kota dan 431 anggota DPRD tingkat provinsi. Izin pemeriksaan dikeluarkan kepada para wakil rakyat itu untuk status terdakwa, tersangka, maupun saksi.

Dari jumlah itu, izin pemeriksaan terbanyak dikeluarkan untuk kasus korupsi. Untuk tingkat dewan kabupaten/kota, izin pemeriksaan kasus korupsi 349 kasus (33,24 persen). Sedang untuk provinsi, kasus tertinggi juga kasus korupsi yakni sebanyak 361 kasus (83,76 persen).

Selanjutnya, Ditjen Otda Kemendagri, pada minggu keempat Februari lalu, merilis, anggota legislatif yang terjerat korupsi di DPRD kabupaten/kota tercatat sebanyak 431 orang dan DPRD Provinsi 2.545. Jumlah itu 6,1 persen dari total 18.275 anggota DPRD se-Indonesia.

Tentu saja, koruptor tak serta-merta hanya penghuni gedung parlemen. Eksekutif lebih parah lagi. Kepala daerah yang terjerat kasus hukum pun terus bertambah. Kemendagri meramalkan, hingga akhir tahun 2013 total kepala daerah yang terjerat kasus korupsi mencapai 300. Sejak 2004 sampai Februari 2013, sudah ada 291 kepala daerah, baik gubernur/bupati/walikota yang terjerat kasus korupsi.

Lalu kenapa anggota dewan yang jadi sorotan? Anggota legislatif menyandang label sebagai aspirator rakyat. Terlebih, tren korupsi yang gede-gede terjadi pada saat penganggaran—didominasi badan anggaran dan pimpinan dewan (sudah tahu ada indikasi korupsi kok diteken). Selanjutnya, lembaga legislatif juga punya fungsi pengawasan—didominasi komisi. Jika eksekutif korupsi, ya tinggal tolak saja laporan pertanggung jawaban kepala daerah.

Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung, menyebut, rata-rata motivasi politisi yang kini duduk di lembaga legislatif adalah kepentingan ekonomi. Akibatnya, politisi di parlemen banyak yang bersikap pragmatis saat menjalankan tupoksi sebagai anggota dewan. Toh, Pramono bilang, biaya untuk menjadi legislator di Senayan tidak kepalang tanggung: Rp1,5 – 2 miliar.

Jika demikian yang dikatakan Pramono tersebut, berarti rata-rata anggota dewan memang hanya mengejar kesejahteraan pribadi daripada benar-benar memikirkan kesengsaraan rakyat. Kalau seperti itu, untuk apa kita memilih wakil rakyat? Tentu tak perlu berpikiran seperti itu. Toh, sebaiknya kita pikir-pikir dalam menentukan pilihan. Tong kosong biasanya nyaring bunyinya. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline