Lihat ke Halaman Asli

Chairul Anwar

Penulis lepas

“Musuh” TNI - Polri, Frustasi, dan Ego Institusi

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

SATU lagi konflik antara TNI dan Polri terjadi. Markas Kepolisian Resor (Mapolres) Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, luluh lantak oleh tindakan hampir seratusan prajurit TNI AD dari Batalyon 76/15 Armed Tarik Martapura—berseragam lengkap malah. Tak cuma bangunan, delapan orang dilaporkan menjadi korban, meski belum sampai ada yang tewas.

Akibat peristiwa Kamis pagi kemarin itu, petinggi TNI AD dan Polri di Jakarta mengernyitkan kening. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ikutan berteriak tegas agar menindak oknum TNI yang melakukan pengrusakan tersebut.

Sebenarnya, tak tepat jika disebut konflik antarkesatuan, karena bentrokan sering dipicu hanya oleh persoalan-persoalan “sepele” dan pribadi. Tapi, karena solidaritas korp—ditambah lagi ada anggapan bahwa level lawan sebanding (bukan dengan rakyat)—konflik menjelma menjadi antarkesatuan.

Konflik di OKU awalnya hanya dipicu persoalan pribadi—lebih tepat ego kesatuan—antara Brigadir Wijaya, anggota Polantas Polres OKU dan Pratu Heru Oktavianus dari Batalyon 76/15 Armed, akhir Januari 2013.  Entah bagaimana kronologisnya—akibat isu yang simpang siur—Heru tewas ditembak, dan Wijaya telah ditetapkan sebagai tersangka. Agar tak menjadi konflik yang meluas, kepolisian dan TNI siaga penuh. Kedua pimpinan juga sudah sepakat berdamai. Rupanya, bara konflik masih membakar. Rekan-rekan satu korp Heru mempertanyakan tindak lanjut kasus penembakan, dan dari sinilah pembakaran Mapolres OKU berpunca.

Negeri ini telah mencatat konflik antarkesatuan tersebut. Pada tanggal 6 Desember 1999. Sejumlah anggota POLRI (Polsek 50 Kota) dan TNI  (Batalyon 131 Braja Sakti dan Koramil 0306/01) terlibat bentrokan bersenjata.

Kemudian,  tanggal 30 September 2002, insiden di Binjai melibatkan unit infanteri Lintas Udara 100/Prajurit Setia dengan korps Brimob Polda Sumut yang sama-sama bermarkas di Binjai.

Lalu tanggal 15 Nopember 2006, kasus pengeroyokan empat anggota polisi oleh sekelompok orang. Pada saat itu disinyalir oknum TNI. Selanjutnya, pada anggal 9 Oktober 2007, insiden serangan terhadap Polres Mimika di Timika, Papua, karena diduga masalah perebutan kekuasaan di wilayah tertentu.

Pada tanggal 2 Februari  2008, personel Batalyon 731/Kabaressy dan Polres Maluku Tengah (Malteng) bentrok di Masohi. Masohi “lumpuh” karena masyarakat tidak berani keluar rumah. Minggu malam (4/7). Akibatnya, dua orang Brimob mengalami luka-luka dan puluhan kendaraan roda dua dan empat rusak.

Pada tanggal 20 Agustus 2010, Kepolisian Resor Pematangsiantar berubah menjadi mencekam ketika seratusan oknum TNI datang menyerang. Tanggal 7 Maret 2011, terjadi insiden serangan Markas Kepolisian Resor Labuhanbatu di Jalan MH Thamrin Rantauprapat.

Tanggal 15 Desember 2010, terjadi bentrokan antara oknum Polantas dan oknum TNI AU yang di Tual, Maluku Tenggara. Dan, tanggal 17 Mei 2011 terjadi insiden lagi di Mapolsek Kampar yang terletak di kawasan Air Tiris Pekanbaru, diserang oleh puluhan pria berambut cepak.  Komandan Korem 031 Wirabima, Riau, Kolonel Zaidun belum bisa memastikan pelaku penyerangan di Mapolsek Kampar adalah oknum TNI dari kesatuan yang dipimpinnya.

Sebenarnya, masih banyak lagi gesekan-gesekan antara oknum Polri dan TNI di lapangan.  Pada tahun 2012 lalu, sempat pula terjadi bentrok antar anggota Brigade Mobil atau Brimob dengan Prajurit Kostrad di Gorontalo. Dalam peristiwa itu satu anggota TNI tewas. Dalam bentrok itu, dua anggota Polisi dan seorang anggota TNI tewas.

Menurut catatan KONTRAS yang dirilis 2012, telah terjadi 26 kali bentrok TNI-Polri, yang dirata-rata terjadi dua kali bentrokan dalam sebulan. Bentrokan sepanjang 2012 itu telah menewaskan 11 orang, tujuh dari Polri dan empat dari TNI, dan 47 Aparat dari dua institusi itu juga luka-luka.

Pertanyaannya, kenapa bentrokan antarkesatuan itu masih saja terjadi padahal mereka mengemban tugas sebagai penjaga keamanan dan penjaga keutuhan NKRI? Bukankah kedua-duanya diajarkan tentang penegakan hukum? Lalu, kepada siapa lagi rakyat akan menyandarkan harapannya jika “orang-orang yang terlatih” terlatih itu saling bentrok? Bukankah rakyat seperti terjepit di antara “dua gajah” yang berkelahi?

Sudah menjadi rahasia umum jika sentimen antara TNI dan Polri masih terpupuk. Ego sektoral masih melekat kuat. Hal-hal kecil bisa memicu konflik antarkesatuan. Tapi apa yang menjadi penyebabnya, negeri ini belum juga mampu menghilangkan.

Entahlah. Tapi, era reformasi sejak 1998 telah mengubah masing-masing kesatuan. TNI kembali ke barak dengan tugas-tugas pertahanan—menjaga keutuhan NKRI, dan Polri mengambil alih tugas-tugas keamanan sipil. TNI yang pada zaman Orde Baru ikut berperan dalam mengatur kebijakan negara, kewenangan itu kini mulai dihapus.

Selain itu, masing-masing kesatuan juga diajarkan untuk menjaga keutuhan NKRI dan menegakkan hukum. Namun, dalam implementasinya—sesuai dengan tupoksinya—Polri yang lebih banyak berurusan dengan penegakan hukum karena banyaknya kasus-kasus kriminal, sementara  TNI sering mengurusi persoalan menjaga persatuan dan keutuhan negara.

Bisa saja kemudian semangat bela negara melemah di institusi Polri akibat jarang berurusan dengan tugas mempertahankan kedaulatan, sebaliknya semangat penegakan hukum justru di TNI melemah karena jarang berurusan dengan persoalan-persoalan hukum di masyarakat. Persoalan muncul ketika terjadi perselisihan kecil antaroknum di lapangan—dari beberapa kasus, masing-masing kesatuan merasa superior.

Untuk kasus kecil saja, kita sering melihat ada oknum TNI yang petentang-petenteng tanpa menggunakan helm saat berkendara di jalan. Di satu sisi, polisi juga dituntut untuk menegakkan hukum. Sebaliknya, prajurit yang didoktrin untuk selalu mencintai tanah airnya, jengah melihat oknum-oknum polisi yang justru melanggar hukum. Persoalan-persoalan “ideologi sektoral”—akibat terpisahnya jarak kewenangan—inil bisa menjadi salah satu penyebab konlfik antarkesatuan terjadi.

Seorang prajurit TNI pernah berkeluh-kesah kepada saya. Bukan persoalan penghasilan atau tunjangan. Tapi lebih kepada peran TNI yang mulai tak dihargai lagi. Dia frustasi, ketika TNI selalu “dibaiat” untuk selalu membela negara, namun di lapangan kecintaan terhadap negara mulai luntur di kalangan masyarakat—terlebih perilaku oknum-oknum polisi yang sama sekali mengabaikan rasa cinta tanah air.

Dia tak menampik, “apa yang didapat” untuk orang-orang yang selalu cinta tanah airnya (baca: TNI) tak sebesar orang-orang yang mulai melupakan tanah airnya (baca: polisi). Dia semakin frustasi ketika di era otonomi daerah, kepentingan negara tak bagitu dipedulikan dan lebih mementingkan pribadi dan golongan.

Tapi, itu hanya sekelumit keluh-kesah. Sarlito Wirawan Sarwono, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dalam artikelnya yang berjudul “TNI versus Polri” menuliskan, pada dasarnya tidak ada konflik antara TNI – Polri. Yang ada adalah apa yang dinamakan oleh Muzafer Sheriff sebagai The Real Conflict Theory (RCT) yaitu pengembangan sikap insider-outdsider sebagai akibat adanya sumber yang terbatas, baik yang riil maupun yang hanya dipersepsikan, yang harus diperebutkan untuk memperolehnya. Caranya untuk menghilangkan RCT adalah dengan menghilangkan sumber konflik atau menciptakan suatu sumber atau tantangan baru yang harus/bisa dicapai dengan menyinergikan kekuatan kedua pihak yang berkonflik.

Jadi, menurut Sarlito, “musuh” yang dihadapi TNI dan Polri sudah berbeda. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline