Sore itu masih tampak cerah. Kedatangan senja belum terdengar kabarnya. Tapi kabar sebuah tangisan telah terdengar oleh Tulus. Kayu-kayu bakar yang telah dikumpulkannya dari hutan baru saja ia letakan di belakang rumah. Tulus segera masuk untuk mencari sumber suara tangisan.
Nampak di pintu dapur, adik Tulus sedang berdiam diri. Raut wajahnya susah ditebak. Antara kecewa dan sedih. "Kenapa dek?," tanya Tulus. Adiknya masih terdiam. Hanya dari pandangan matanya Tulus mencoba mencari jawaban. Mata itu tertuju pada sosok perempuan setengah tua yang duduk di pojok dapur. Ia adalah Ibu kedua anak itu. Tulus dan adiknya.
Barulah Tulus tau, suara tangisan itu keluar dari mulut Ibunya. "Kalaulah ayahmu pulang, tentu Ibu akan belikan kamu mainan," berkata Ibu di sela-sela isak tangisnya. Tulus mulai mengerti akar permasalahan keadaan di dapur rumahnya. Seperti biasa, adik terus meminta mainan yang diinginkannya. Dan Ibu nampak masih belum sanggup membelikannya.
Tak salah juga adik Tulus meminta mainan. Diantara anak-anak kampungnya, adik Tulus termasuk anak yang paling terbelakang dalam hal memiliki mainan. Tulus sendiri sering merasa bersalah karena tak sanggup membelikannya. Mengharapkan uang dari Ibu juga agaknya susah. Ibu hanyalah seorang pedagang sarapan dipagi hari. Penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari-hari, uang jajan dan sekolah anak-anaknya.
Biasanya, Ibu baru membelikan mainan buat anaknya ketika ayah pulang. Tetapi hampir setahun ayah masih di perantauan. Uang hasil kerjanya pun selama itu tak pernah sampai ke keluarga Tulus. Hal semacam itulah yang nampaknya membuat ibu bersedih. Menangisi keadaan keluarganya.
Tulus agaknya mengerti kenapa Ibu menangis sampe sebegitunya. Yang pertama karena ibu melihat anaknya bersedih, kedua karena Ibu tak mampu memenuhi keinginan anaknya, dan ketiga karena suaminya sudah lama tak kunjung ada kabar kepulangannya.
Betapapun, Ibu tetaplah seorang perempuan yang tegar, sabar dan terus bekerja keras. Tegar dalam menghadapi permasalahan, sabar dalam menerima keadaan dan terus bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.
Ia jarang sekali terlihat mengeluh, meski peluh tak pernah berhenti membasahi tubuhnya. Amat sedikit waktu untuknya menangis, meski berlapis-lapis kebutuhan keluarga ditanggung sendiri. Tak pernah Ibu terlihat putus asa meski asa baginya membahagiakan anak-anaknya peluangnya sedemikian tipis.
Ibu, kaulah pahlawan keluarga kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H