Sudah sebulan ini Lizal berada di kota kabupaten. Luka di matanya sudah sembuh tapi ia tidak dapat melihat. Walaupun tak dapat melihat dengan mata, tetapi Lizal masih dapat melihat dengan hati nuraninya. Itulah esensi sejati menjadi seorang manusia.
Setelah keluar dari rumah sakit, Lizal tinggal di sebuah panti asuhan tunanetra. Di sini Lizal belajar membaca dan menulis Braille. Lizal tinggal sementara di situ karena ia juga masih harus rutin kontrol ke dokter mata.
Hari ini Haryati dan Sri datang dari desa. Sri sangat sedih melihat kondisi bapaknya itu. Malam harinya, seusai bapaknya mendongeng kepadanya, Sri lalu bertanya, "Pak, bapak kasihan gak bisa melihat, jadi gak bisa baca lagi."
Lizal kemudian mengelus rambut anaknya. "Ya enggak tah nduk. Bapak malah bahagia. Coba kalau dulu, pas malem bapak lagi baca, trus simbok matiin lampu teplok, yah bapak gak bisa baca lagi. Lah kalau sekarang, bapak sambil merem pun tetep bisa baca nduk!"
"Lah, iya tah pak, bacane pripun pak?"
"Ya pakai jari tangan ini nduk." jawab Lizal sambil tertawa.
Sri kini tertawa senang. "Sesok Sri ajarin juga ya pak?"
"Oke bos." Jawab bapak-e sambil memeluk putrinya.
Dari balik pintu kamar terlihat Haryati dengan air mata membasahi pipinya. Ia lalu bertelut sambil memanjatkan doa, "Ya Tuhanku baru saja Engkau memberi tahu arti dari sebuah cinta bagi hambamu ini. Ya Gusti, berilah kekuatan, kesabaran dan kerendahan hati agar hambamu ini tetap bisa menikmati buah dari cinta itu."
***