Polemik antrian pembelian minyak goreng kini mencapai titik akhir setelah Pemerintah resmi melepaskan harga migor (minyak goreng) ke mekanisme pasar.
Semula Pemerintah menetapkan HET (Harga Eceran Tertinggi) migor sebesar Rp 14.000/liter. Padahal harga CPO (Crude Palm Oil) yang menjadi bahan baku utama migor sudah menyentuh harga Rp 18.000/liter. Daripada merugi, pabrik migor kemudian menghentikan produksinya.
Kasus migor ini mirip dengan kasus tempe kemarin. Ketika harga kacang kedelai yang menjadi bahan pokok tempe itu melonjak naik, maka pengrajin tempe seketika "mati gaya." Tidur tak nyenyak makan pun tak kenyang akibat termakan buah simalakama.
Menaikkan harga tempe pada era "new normal jilid II" ini adalah sebuah hil yang mustahal. Sebaliknya jika menghentikan produksi, maka anak bini pasti akan kelaparan. Mungkin solusinya adalah dengan membuat dimensi tempe setipis kartu ATM, seperti penerawangan Pak Sandiaga Uno dulu.
Beberapa waktu belakangan ini kita kerap menyaksikan melalui sosmed, koran maupun televisi pemandangan antrian warga untuk membeli migor. Bagi saya pribadi sebenarnya hal ini sangat janggal karena ketika saya berkunjung ke beberapa supermarket, stok migor dengan harga Rp 14.000/kemasan 1 liter dan Rp 28.000/kemasan 2 liter cukup banyak. Hanya saja pembelian migor tersebut dibatasi satu kemasan untuk setiap pengunjung.
Loetjoenja, di pasar tradisional maupun di warung-warung, harga migor kemasan 1 liter tadi (mereknya sama juga) menembus harga Rp 17.000, dan segera ludes. Yah bisa saja di warung itu stok migornya memang cuma lima kemasan saja. Jadi ketika enam orang emak-emak pemburu migor yang sedang mengalami panic buying mengunjungi warung tersebut, maka seorang emak dipastikan akan "menjerit" karena tidak mendapat migor.
Timbul pertanyaan sederhana, mengapa warga yang antri untuk membeli migor itu tidak pergi ke supermarket saja? Dugaan saya, mereka memang tidak tahu kalau di supermarket itu masih tersedia migor dengan harga Rp 14.000/kemasan 1 liter. Kedua mereka memang mengincar migor curah yang harganya cuma Rp11.500/liter.
Tapi ada cerita lucu dari seorang warga yang mengantri migor Operasi Pasar Murah. Setelah mengantri lima jam, ia akhirnya mendapatkan satu kemasan migor satu liter seharga dua belas ribu rupiah.
Namun pengeluarannya meliputi uang parkir motor kepada preman setempat sebesar lima ribu rupiah, bakso seporsi dua puluh ribu rupiah (padahal menurut pengakuannya harga normalnya cuma dua belas ribu rupiah) plus rokok sebungkus. Akhirnya beliau "rugi bandar" demi sebungkus migor.
Kembali ke HET migor sebesar Rp 14.000/liter, untuk saat ini memang adalah sebuah hil yang mustahal. Bayangkan saja harga TBS (Tandan Buah Segar) sawit di Riau saat ini sudah mencapai Rp 3.930/kg. Sedangkan harga CPO sebesar Rp16.195/kg padahal harga pekan lalu masih Rp15.120/kg.