Lihat ke Halaman Asli

Reinhard Hutabarat

TERVERIFIKASI

Penikmat kata dan rasa...

Polemik Impor Beras Indonesia

Diperbarui: 24 Maret 2021   15:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar gudang Bulog, sumber: https://static.republika.co.id/


Suami : "Ma, kenapa celana dalamku warna hitam semua?"

Istri : "Lha, memangnya kenapa Pa?"

Suami : "Ntar dipikir orang aku gak pernah ganti celana dalam!"

Istri : "Emangnya siapa yang suka liatin celana dalam papa?"

Suami : !$#*? kabur...

Belakangan ini warga +62 kembali dihebohkan oleh wacana impor beras. Sebenarnya bukan cuma warga saja, tetapi juga petinggi parpol, para pakar bahkan gubernur pun ikut berbicara soal beras impor ini. Mereka semuanya menolak impor beras, tapi tanpa tahu betul secara mendalam perihal dunia perberasan ini. Saya pribadi tidak ingin berpolemik dengan pilihan seseorang. Namun saya berharap orang setidaknya mau melihat isu ini secara komprehensif, barulah kemudian berbicara.

Sejak tahun 2016, saya setidaknya telah menulis empat artikel di Kompasiana ikhwal dunia perberasan ini. Berbicara soal beras, tentunya kita tidak akan bisa membahasnya tanpa mengikutsertakan para petani yang menjadi produsen beras di tanah air.

Namun petani saja ternyata tidak cukup, karena kita juga harus membahas peran Kementan, Bulog, Kemendag, Kemenko Perekonomian, konsumen, Pedagang beras dan tentunya para spekulan (mafia beras, pemburu rente, calo dan sebagainya)

Kementan tentunya berdiri di belakang petani yang berupaya menolak impor beras dengan memakai alasan swasembada. Logis, karena produsen tentunya ingin harga setinggi mungkin. Kalau barang impor masuk, otomatis harga akan terkoreksi.

Sebaliknya Kemendag berdiri di belakang 265 juta jiwa rakyat pemakan beras yang doanya setiap pagi itu adalah agar harga-harga barang (termasuk beras) turun semurah mungkin. Dengan begitu mereka bisa menabung. Ini juga doa/harapan yang sangat logis.

Bulog kemudian berdiri di tengah sebagai jembatan pengantara antara produsen dan konsumen yang selalunya terikat kepada hukum keseimbangan pasar, yakni "Hukum Permintaan dan Penawaran."

Ketika panen raya, dimana pasokan melebihi permintaan, otomatis harga gabah akan turun. Bulog lalu turun tangan untuk membeli gabah petani sesuai dengan HPP (Harga Pokok Pembelian) yang sudah ditetapkan. Dalam hal ini Bulog bertugas sebagai penyangga gabah.

Sebaliknya ketika paceklik/musim panen berlalu, tentunya tidak ada pasokan gabah padahal permintaan tetap, otomatis pasokan beras hanya bersumber dari gudang pedagang saja. Ketika harga beras kemudian melewati HET, maka Bulog turun tangan lewat Operasi Pasar untuk menstabilkan harga beras. Jadi mekanisme kerja Bulog itu sederhana saja.

Kalau harga gabah kemudian terjungkal ketika panen raya, maka yang salah pastilah Bulog karena Bulog ternyata gagal menjalankan fungsinya sebagai Badan penyangga gabah. Kalau harga beras di PIC (Pasar Induk Cipinang) kemudian meroket melewati HET, maka yang salah pastilah Bulog juga, karena Bulog gagal menjalankan fungsinya untuk menstabilkan harga beras.

Ada tiga hal penyebab Bulog gagal menjalankan fungsinya

Pertama, Bulog impoten/tak berdaya. Ini menyangkut soal gudang dan dana untuk membeli gabah petani. Solusinya tentu saja ada (akan ditulis secara terpisah)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline