Pikir itu pelita hati. Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna
"Naturalisasi" di awal tahun 2020 akhirnya memakan korban tewas dan kerugian materi yang tak ternilai. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan konsep ini karena konsep naturalisasi ini sangat bagus, bahkan teramat bagus sehingga sulit untuk di-implementasikan di lapangan.
Digagas oleh Tim Kampanye Anies Baswedan (yang kemudian menjadi TGUPP) menjelang kampanye Pilgub DKI Jakarta 2016 lalu, namun hingga kini tidak pernah dilaksanakan karena memang TIDAK MUNGKIN UNTUK DILAKSANAKAN!
Politik praktis (Pilgub DKI Jakarta 2016 lalu) ternyata telah membuat warga masyarakat dan pemimpinnya keliru memahami makna kata "Normalisasi" dan "Naturalisasi"
Politisasi sungai dan bantaran kali oleh "kaum awam" kemudian membuat para insinyiur Teknik Sipil dan Teknik Lingkungan "mati gaya".
Pergub DKI Jakarta No. 31 Tahun 2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air secara Terpadu dengan Konsep Naturalisasi justru semakin melengkapi kebingungan mereka itu.
Terbukti kemudian, sejak digagas empat tahun lalu, Anies belum juga mengeluarkan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Naturalisasi Sungai-sungai di DKI Jakarta. Kalau Juknis (Petunjuk Teknis) tidak ada, ya tentu saja pelaksanaanya tidak akan pernah ada!
Sialnya lagi media, termasuk media-media utama (disengaja atau tidak) turut memperparah situasi "gagal paham" ini untuk semakin menjerumuskan nalar masyarakat.
Supaya kita tidak terjerumus kedalam kubang kebingungan yang lebih dalam, ada baiknya kita pahami dulu makna kata "Normalisasi" dan "Naturalisasi" dalam konsep Pengendalian Banjir Jakarta ini.
"Politisasi sungai" rupanya telah menempatkan kata "Normalisasi" sebagai "identitas Ahok." Padahal normalisasi sungai sudah dilakukan Pemerintah Hindia Belanda jauh sebelum kakek Ahok lahir.
Normalisasi (Ahok) adalah penggusuran rakyat jelata dari bantaran kali. Normalisasi (Ahok) adalah pelurusan sungai (membuat aliran lebih cepat), pemasangan turap beton dan membuat warga terusir dari sungainya.