Satgas TPF (Tim Pencari Fakta) kasus Novel Baswedan yang dibentuk Kapolri pada 8 Januari 2019 lalu, resmi mengakhiri masa tugasnya dengan memberikan laporan dan rekomendasi kepada Kapolri pada Juli 2019 kemarin.
Satgas ini pun kemudian menuai kritik dan cemohan karena tidak berhasil mengungkap "dalang sekaligus wayang" pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.
Saya pribadi merasa sedih karena pengungkapan kasus ini seperti berjalan di tempat, sekalipun saya tetap memuji kinerja TPF yang seharusnya tidak perlu diragukan lagi integritasnya itu. Pengalaman para personil TPF ini cukup Panjang, mulai dari kasus penculikan aktivis 1997, Kerusuhan Mei 1998 hingga Kasus Munir dan Freddy Budiman.
Dua tahun lalu saya menulis empat artikel di kompasiana terkait kasus Novel Baswedan. Tiga artikel pertama terkait kasus penyiraman, motif dan latar belakang dalang yang lebih fokus ke faktor eksternal. Ternyata Hasil laporan Satgas TPF Novel ini pun sebelas dua belas dengan isi dari ketiga artikel tersebut. Buset!!!! Kasus ini pun tak ubahnya seperti mencari ayah-ibu dari pasangan Upin dan Ipin!
Baca :
Misteri Kasus Penyerangan Novel Baswedan
Nilai Politis Seorang Novel Baswedan
Membaca laporan TPF yang tanpa kemajuan ini, saya merasa terkecoh karena selama ini berpikir standar saja. Padahal bisa saja kasus ini bermuara di faktor internal yang tidak pernah kita bayangkan sejak semula. Artikel keempat saya di kompasiana terkait kasus Novel Baswedan dua tahun lalu itu pun, membuat saya tergerak untuk membacanya kembali.
Baca :