Tahun 1997 akan selalu dikenang dalam sejarah perekonomian Indonesia sebagai catatan sejarah yang paling kelam. Krisis ekonomi yang bermula dari menguatnya US Dollar (secara tidak masuk akal) di kawasan regional Asia kemudian menyeret Indonesia jatuh kedalam palung laut terdalam. Perekonomian Indonesia kandas, dan tidak akan mungkin bisa kandas lagi, karena kita sudah berada pada "titik terendah pada lapisan kerak bumi"
Pemerintah Indonesia dan perusahaan-perusahaan nasional bangkrut karena hutangnya dalam denominasi rupiah menggelembung seketika sampai lima kali lipat! Ibarat anak kecil yang sehari-harinya membawa tas sekolah seberat 5 kg, seketika dipaksa harus membawa tas sekolah seberat 25 kg, Anak itu pasti akan "gegana raya" (gelisah, galau, merana merasa tak berdaya)
Kerusakan perekonomian itu semakin diperparah lagi ketika Indonesia bertekuk lutut pada titah sang rentenir bin lintah darat bernama IMF. Bulog dikebiri atas fatwa free market. BUMN "dicincang" lalu dijual kepada "asing-aseng" Kita "di-Irak Suria-kan" lalu dijajah oleh foreign corporates yang membonceng dibalik ketiak IMF. Sebagian dari foreign corporates itu saham terbesarnya justru dimiliki para tauke perusahaan nasional yang ambruk tadi.
Aneh tapi nyata memang. Di dalam negeri, saham perusahaan para tauke itu nilainya cuma seharga sebatang rokok. Akan tetapi lewat perusahaan cangkang mereka di Cayman, Swiss ataupun Virgin Island, mereka siap memborong saham-saham perusahaan di Asia Tenggara maupun Korea Selatan yang nilainya "sudah jatuh ditimpa tangga pula..."
Tak lama kemudian BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) atau IBRA (Indonesian Bank Restructuring Agency) dibentuk. Tugasnya adalah melaksanakan upaya penyehatan bank-bank, mengelola asset bermasalah, dan mengadministrasikan program jaminan pemerintah. Akan tetapi BPPN juga tidak bisa maksimal.
Situasinya memang pelik ketika itu. Negara butuh cash untuk menambal APBN, sementara nilai saham perusahaan-perusahaan bermasalah itu tak lebih berharga dari kertas pembungkus tempe. Butuh cash, strategi, waktu, komitmen dan "integritas tingkat dewa" untuk memoles perusahaan-perusahaan itu agar nilainya bisa bagus kembali. Ketika nilainya sudah bagus, tentu gain yang didapat pemerintah ketika nantinya menjual saham perusahaan tersebut akan bagus pula.
Apalagi perusahaan-perusahaan itu, terutama bank dan Lembaga Keuangan lainnya itu ambruk, memang karena dirampok oleh pemiliknya sendiri. Sebagian lagi memang karena mismanagement. Ini memang tak lepas dari kebijakan Sumarlin (Menteri keuangan ketika itu) yang melonggarkan persyaratan untuk membuat bank (bank devisa, bank umum maupun bank pasar) pada akhir tahun 80-an.
Akibatnya "tauke kerupuk" yang dapat cuan proyek besar dari sohibnya yang naik jadi pejabat itu kemudian mendirikan bank pasar untuk diversifikasi usaha sekaligus untuk meraup dana murah dari masyarakat untuk membiayai proyek-proyeknya.
Kalau nasibnya mujur, lima tahun kemudian bank pasar itu sudah bisa bermutasi menjadi bank umum. Mujur lagi, kini bank umum itu berubah menjadi bank devisa. Kini tauke tadi sudah bisa menerbitkan LC (Letter of Credit) bodong, maupun promes (promissory note) abal-abal.
Kalau nasibnya apes karena proyeknya merugi, maka "tauke kerupuk" pemilik bank pasar tadi tinggal kabur saja. Sementara itu para nasabah uang receh ataupun pensiunan PNS yang mengharapkan bunga besar dari tabungan itu pun hanya bisa pasrah mengurut dada sambil mengucurkan air mata. OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) yang dibentuk untuk melindungi kepentingan nasabah, ketika itu memang belum lahir.
***