Lihat ke Halaman Asli

Reinhard Hutabarat

TERVERIFIKASI

Penikmat kata dan rasa...

Anies "Off-side" di Sertifikat Pulau Reklamasi

Diperbarui: 14 Januari 2018   15:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto : kbr.id

Pada 29 Desember 2017 akhir tahun lalu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melalui surat nomor 2373/-1.794.2, meminta Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional) Sofyan Djalil untuk membatalkan sertifikat HGB (Hak Guna Bangunan) 3 pulau reklamasi yakni pulau C, D dan G.

Sebelumnya Anies menyatakan penerbitan HGB pulau D itu tidak sesuai aturan, sebab HGB tersebut diterbitkan sebelum adanya Perda (Peraturan Daerah) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Namun BPN Jakarta Utara bersikeras bahwa penerbitan sertifikat HGB di lahan pulau reklamasi sudah sesuai dengan prosedur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebab mustahil BPN akan menerbitkan HGB tanpa persetujuan dan rekomendasi dari pemegang HPL yakni Pemprov DKI sendiri! Kepala BPN Sofyan Djalil menyebut BPN tidak bisa mengabulkan permohonan gubernur DKI tersebut karena nantinya malah akan menimbulkan ketidakpastian hukum, sebab penerbitan HGB itu sendiri sudah sesuai dengan prosedur.

Sangat menarik mencermati mengapa Anies berniat untuk membatalkan HGB Pulau reklamasi tersebut. Apakah para penasehatnya tidak memberi advis yang benar kepadanya? Ataukah ada agenda tertentu disana? Berkaca pada surat permohonan pembatalan HGB tersebut, kita dapat mencermati beberapa aspek yang terkesan cukup aneh...

Pertama, Aspek Hukum.

Diatas sudah dijelaskan bahwa penerbitan HGB Pulau C, D dan G tersebut sudah sesuai dengan prosedur. Namun demikian, sekiranya ada pihak-pihak yang berkeberatan dengan HGB tersebut, prosedur keberatan tersebut dapat ditempuh lewat jalur PTUN. Selain menerbitkan sertifikat tanah, pekerjaan BPN sehari-hari itu juga adalah "berperkara" dengan para penggugat-penggugat BPN di PTUN. Jadi kalau gabener memang mau membatalkan HGB tersebut, prosedurnya yah memang harus lewat PTUN itu!

HGB adalah produk hukum! Oleh karena itu pembatalan produk hukum tersebut tidak bisa dibuat berdasarkan sepotong surat saja tetapi harus lewat keputusan hukum yang berkekuatan tetap juga (PTUN)  Artinya prosedur pembuatan HGB dan keberatan gabener tersebut akan dikaji dandiuji di pengadilan keabsahannya. Tentu saja nantinya Hakim PTUN akan memenangkan pihak yang bener saja...

Prosedur PTUN ini sangat diperlukan demi kepastian hukum di negeri ini. Kalau tidak, maka negara ini akan kacau karena perbankan pasti tidak akan mau lagi menerima HGB atau SHM sebagai jaminan karena takut nantinya HGB/SHM tersebut bisa saja sewaktu-waktu akan dibatalkan oleh BPN bila diprotes oleh pihak lain!

Dasar hukum yang dipakai gabeneruntuk pembatalan itu adalah karena merasa HGB tersebut diterbitkan sebelum adanya Perda (Peraturan Daerah) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pandangan ini jelas keliru! Memang betul HGB diterbitan sebelum keluarnya Perda Zonasi dan Tata Ruang tersebut. Akan tetapi dasar hukum penerbitan HGB tersebut adalah Perda No 8 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Pergub DKI No. 121/2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantura Jakarta.

Secara umum undang-undang itu bersifat Non-retroaktif (tidak boleh berlaku surut) bukan retroaktif (berlaku surut) seperti yang ada dalam khayalan gabener ini. Kekecualian hanya pada hal-hal tertentu dimungkinkan retroaktif, misalnya ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP dan Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM. Jadi dasar hukum yang dipakai untuk membatalkan HGB ini jelas-jelas salah alamat.

Kedua, Aspek Politik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline