Pemakaian kartu e-tol pada seluruh ruas jalan tol diseluruh Indonesia sudah berlangsung dua bulan lebih namun kemacetan yang terjadi di pintu tol masih saja tetap terjadi. Kemacetan itu disebabkan oleh lamanya "prosesi" yang dimulai dengan perlambatan kenderaan menuju jalur gardu yang lalu diikuti prosedur "ngetap" pada pintu masuk dan keluar tol. Padahal tadinya e-tol diharapkan dapat mempersingkat waktu, terutama dalam proses pengembalian uang pada gardu tol tunai.
Ketika terjadi masalah pada kartu (kartu rusak atau saldo tidak mencukupi) maka antrian kenderaan di pintu masuk/keluar tol akan semakin parah. Kalau sudah begini, terpaksalah "si biang kerok tadi" harus meminjam kartu dari kenderaan yang ada dibelakangnya agar bisa lolos dari "hadangan" portal tol itu. Ini seharusnya menjadi perhatian YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia)
Ketika terjadi masalah pada kartu di GTO, maka portal tol tidak akan terbuka. Akibatnya antrian kenderaan dibelakang pemilik kartu bermasalah tadi akan memanjang. Dalam hal ini konsumen pengguna jasa tol jelas dirugikan. Itulah sebabnya GTT (Gardu Tol Tunai) selain daripada GTO (Gardu Tol Otomatis) yang sudah baku sekarang ini, tetap diperlukan untuk mengantisipasi persoalan pada kartu yang bermasalah tadi. Atau setidaknya GTO berfungsi juga sebagai GTT.
Tetapi operator sepertinya tidak perduli akan kepentingan konsumen! Berkat GTO, penghematan biaya operasional dan pendapatan "in advance" sudah tersaji di depan mata! Bagi operator, penggunaaan tenaga kerja untuk petugas di gardu jelas bisa dihemat. Kalau ada seribu gardu dikali tiga shift, berarti tiga ribu petugas dikali gaji rata-rata Rp 60 juta per tahun, maka operator dapat menghemat gaji petugas gardu tol sebesar Rp 180 Milyar per tahun!!!
Kartu e-tol yang merupakan kartu prabayar ini sangat menguntungkan operator, karena sebelum dipergunakan konsumen harus membayar terlebih dahulu. Tentu saja sangat besar potensinya, "apa yang sudah dibayar itu belum tentu dipakai!" Misalnya saja kartu e-tol itu rusak, atau hilang tanpa pernah terpakai. Padahal sebelumnya konsumen hanya membayar atas jasa yang sudah dipakainya.
Bagi operator, GTT juga kerap menyimpan masalah. Mulai dari uang sobek, uang palsu hingga butuh ekstra tenaga untuk mengumpulkan, menghitung dan menyetor uang receh tersebut ke bank. Selain itu uang cash juga rawan dijarah oleh "orang dalam sendiri!"
Walaupun terkesan subjektif, konsumen juga terkadang mengeluhkan wajah petugas yang dianggap cemberut atau kurang ramah. Untunglah kini tidak ada yang menggodain GTO itu dengan berkata, ""Xon-cenya mannnna...? Sariawan ya, koq diem ajjjaaa...?"
***
Setelah seluruh tol di Indonesia memakai GTO, maka sudah selayaknya kita mengevaluasi kinerja e-tol ini. Bagi operator keuntungannya sudah jelas seperti pada uraian diatas. Lalu bagaimana bagi konsumen? Dalam situasi normal GTO memang lebih cepat dan menguntungkan bagi konsumen. Akan tetapi ketika jumlah kenderaan sangat banyak, dan terjadi masalah pada kartu, GTO malah menjadi biang kemacetan! Artinya konsumen tidak terlalu mendapat manfaat (dari segi waktu) dengan kartu e-tol ini.
Sumber persoalannya adalah, kartu e-toll ini butuh proses waktu untuk "prosesi" di GTO. Mulai dari proses menghentikan kenderaan untuk "ngetap" lalu melajukan kenderaan kembali. Dalam kondisi normal, dan tidak ada kenderaan di depan, setidaknya butuh waktu 10 detik untuk proses "Stop and Go" ini. Kalau ada beberapa kenderaan di depan, maka proses waktunya akan lebih lama lagi.
Artinya walaupun sudah automatized kartu e-toll ini bukanlah solusi terbaik untuk mengurangi kemacetan di GTO! Contohnya seperti pada tol Bandara. Pada saat keluar dari bandara dimana ada ratusan kenderaan yang akan memasuki tol secara bersamaan, GTO tidak terlalu memberikan penghematan waktu yang berarti bagi pengguna jalan tol tersebut!