Lihat ke Halaman Asli

Reinhard Hutabarat

TERVERIFIKASI

Penikmat kata dan rasa...

Garam dari Bencana Menjadi Berkah

Diperbarui: 4 Agustus 2017   18:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Petani ini memanen dan menjahit karung yang berisi garam, di tambaknya, desa Kanci, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Rabu (14/10/2014). (KOMPAS.com/Muhamad Syahri Romdhon)

Trending topik saat ini di luar isu politik adalah isu beras oplosan dan garam. Kalau urusan beras masih simpang siur dan cenderung akan senyap, maka urusan garam ini masih akan tetap pelik, menyangkut soal "rasa asin" yang konon kini harganya lebih tinggi dari "rasa manis..." Di Long beach (Pantai Panjang) Bengkulu, beberapa anak kecil yang berenang di pantai menjerit ketika mereka terminum air laut! Rupanya air laut telah kehilangan rasa asinnya karena saat ini harga garam di Bengkulu telah meroket sampai lima kali lipat dari harga sebelumnya....!

Polemik garam ini hampir sama seperti pada beberapa komoditi lainnya, "berlari liar sesukanya tanpa bisa dikendalikan!" Hal ini disebabkan oleh karena kita tidak memahami sepenuhnya "esensi dari apa yang kita bicarakan." Ini menyangkut makna, filosofi, perilaku dan data lengkap dari komoditi yang kita bicarakan. Tentu saja spekulan, pemburu rente, koruptor dan pelaku curang lainnya mengenal betul komoditi yang "digorengnya" itu, karena pengenalannya itu kemudian mendatangkan rezeki yang sangat berlimpah bagi pelakunya....

Beberapa hari yang lalu secara tidak sengaja saya menonton pembahasan soal garam ini pada sebuah stasiun televisi yang menghadirkan Faisal Basri dan dua orang nara sumber lainnya. Yang seorang mewakili industri pengguna (konsumen) garam dan seorang lagi mewakili petani garam. Betapa anomalinya perekonomian kita jelas terlihat di situ! Sang petani "menjerit" karena harga rendah dan stok mereka menumpuk. Dia meminta agar impor garam dihentikan. Sang konsumen juga "menjerit" karena garam menghilang tanpa jejak! Faisal Basri terlihat kebingungan menjelaskan fenomena ini karena sepengetahuannya ekonomi itu selalu diatur oleh harmonisasi hukum permintaan dan penawaran!

Di satu sisi, petani mengaku punya "barang" tetapi dia menjerit karena barangnya tidak laku! Konsumen menjerit karena tidak punya barang, dan dia mau membeli walaupun harganya kini lebih mahal! Penjual menjerit karena tidak ada yang mau beli! Pembeli menjerit karena tidak ada yang mau jual! Pemerintah menjerit karena tidak tahu apa yang harus dilakukan, akhirnya mereka menangkap Ahmad Budiono, Direktur Utama PT Garam! Para pakar ekonomi menjerit dalam diamnya karena tidak bisa menjelaskan fenomena ini. Sebelumnya dua bulan lalu, Ahmad Budiono (juga mewakili para spekulan) sudah menjerit, kalau penyegelan gudang PT Garam yang berisi 75 ribu ton garam ilegal itu akan membuat harga garam meroket!

Ternyata dari semua pihak (petani, konsumen, pemerintah dan para pakar) tak ada satupun yang benar. Yang "benar" itu adalah Ahmad Budiono (kini sudah ditahan) dan para spekulan yang bisa menjelaskannya lewat sebuah tesis berjudul, "Kisah nyata! Pengaruh penyegelan gudang PT Garam terhadap menjeritnya seluruh dunia usaha, petani garam, konsumen, pemerintah dan para pakar perekonomian".

***

Daripada saling tuding untuk menyalahkan, lebih baik berusaha mengenali secara komprehensif mahluk asin ini. Syukur-syukur bisa mendapatkan sebuah solusi alternatif yang bisa membuat semua pihak menjadi happy. Untuk itu kita harus mengenal karakteristik dari semua pihak.

Pertama, Petani garam.

Petani mengelola garam dengan cara tradisional. Tambak diisi dengan air laut, lalu dijemur oleh terik mentari siang. Endapannya lalu menghasilkan garam. Itu saja, dan begitulah caranya sejak zaman kumpeni datang! Tidak ada satu perlakuan khusus atau standarisasi tertentu, misalnya berapa kadar Nacl yang didapat (selalu menjadi ukuran kualitas) kandungan kalsium dan magnesium (untuk industri pangan tidak boleh melebihi batas 400 ppm) Inilah missing link yang menjadi sumber pemicu jeritan tadi! Petani merasa garam yang mereka produksi itu seharusnya laku di pasaran, tetapi ternyata tidak!

Ini terkait dengan kuantitas dan kualitas yang di bawah standar. Namun di daerah Buleleng, Bali, ada juga produksi garam tradisional yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Bahkan produknya berhasil menembus pasar ekspor. Ini terkait cita rasa garam yang eksotik di lidah penggemar kuliner. Bali memang selalu memiliki added value terkait penampilan dan cita rasa. Itulah yang tidak dimiliki oleh garam pantura, yang hanya menawarkan "goyang pantura" saja, tanpa memiliki cita rasa yang memiliki nilai tambah!

Harga itu selalu terkait dengan daya saing! Sampai kapanpun, garam petani tradisional tidak akan laku kalau tidak mendapatkan satu treatment tertentu, yang mencakup intensifikasi, ekstensifikasi, infrastruktur tambak, teknologi dan tentu saja regim kebijakan yang mendukung. Semuanya itu butuh komitmen, biaya dan penanganandari orang yang tepat pula! Sepertinya tidak mungkin membebani APBN lagi untuk menangani persoalan ini, dan itulah yang saya tawarkan lewat artikel ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline