Siapa yang mendalilkan harus membuktikan!
(Sebuah adagium hukum)
Penggerebekan yang dilakukan oleh Satgas Pangan Polri terhadap gudang milik PT IBU (Indo Beras Utama) yang berlokasi di Kedungwaringin, Bekasi, Jawa Barat terkait "beras oplosan" pada minggu kemarin meninggalkan polemik, terutama menyangkut aspek hukum. Polemik tersebut kemudian bergerak ke ranah politik yang kemudian membentuk dua kubu, pro polisi (pemerintah) dan anti pemerintah! Negara kita adalah negara hukum. Dengan tetap menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah dan menghargai usaha keras polisi untuk menegakkan kebenaran, sebaiknya kita tunggu saja pengadilan yang akan memutuskan duduk perkara ini kelak.
Semenjak zaman Bulog menggantikan "kumpeni" untuk mengatur komoditi strategis di negeri ini, kabar tak sedap selalu menyertai kebijakan logistik nasional yang sarat dengan korupsi, kolusi, kartel (kendali harga) dan komisi! Bulog berperan ganda untuk menyerap dan mengedarkan komoditi strategis yang meyangkut hajat hidup orang banyak ini. Ketika panen raya dan harga jatuh, Bulog segera menyerap hasil panen dengan harga patokan pemerintah agar petani tidak merugi. Ketika paceklik dan panen gagal, Bulog segera melepas ke pasar produk tadi dengan harga patokan pemerintah agar konsumen tidak menjerit!
Menyangkut beras untuk konsumen, ada tiga pokok persoalan yang sangat amat mengganggu yang tidak dapat kita selesaikan karena kebanyakan dari kita tidak mengetahui, pura-pura tidak tahu, atau memanfaatkan ketidak tahuan itu untuk kepentingan pribadi, sehingga krisis perberasan ini terjadi. Tiga pokok itu adalah,
Pertama, Tingginya harga beras
Saat ini harga beras untuk ukuran kantong warga Indonesia kebanyakan memang sangat tinggi. Harga beras medium IR.64-1 per 1 Juli 2017 di PIBC (Pasar Induk Beras Cipinang) berkisar Rp 10.000/kg. Di "rice cooker" konsumen harga itu akan berada di kisaran Rp 13.000/kg. Harga di Cipinang tersebut memang lebih murah daripada harga beras di Spanyol (US$ 1,31/kg) Arab Saudi (US$ 1,6/kg) ataupun Turki (US$ 1,81/kg) Akan tetapi beras di ketiga negara tersebut adalah beras kualitas premium (tanpa menir atau bonus pasir) Kalau kita perbandingkan "apple to apple," penghasilan warga perbulan di negara itu, lalu dibagikan dengan harga beras per kilo, maka perbandingan harga lebih murah tadi menjadi sebuah "hil yang mustahal..."
Harga beras di Cipinang tadi ternyata masih lebih mahal daripada harga beras di Vietnam dan Mesir (US$ 0,71/kg) bahkan mendekati harga di Malaysia (US$ 1,12/kg) maupun China (US$ 1,14/kg) dengan kualitas beras premium. Dari sudut kepentingan konsumen (kelas menengah ke bawah) tentunya mereka berharap agar pemerintah membuka keran impor beras dari Vietnam, agar harga beras layak konsumsi ini bisa lebih murah.
Bagi warga dengan penghasilan Rp 3 juta/bulan (Biasanya makan nasinya lebih banyakan) jika bisa membeli beras dengan harga Rp 9.000/kg, tentu akan memperbaiki neraca keuangan mereka. Selisih harga beras yang dihemat tentu akan bisa dibelanjakan untuk membeli consumer goods yang otomatis akan meningkatkan konsumsi masyarakat yang merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Jadi kebijakan subsidi beras itu seharusnya juga mengakomodasikan kepentingan konsumen (kelas menengah ke bawah)
Jika pemerintah sudah mengakomodasi kepentingan konsumen, lalu bagaimana nasib petani? Nah konsep untuk petani ini yang terkesan aneh karena sudah berlangsung sejak zaman dahulu. Petani disuruh menanam padi kualitas medium, diberi subsidi benih, pupuk dan peralatan dengan tujuan agar biaya operasional petani rendah. Padi petani itu kemudian diserap Bulog dengan harga patokan Rp 3.700/kg.
Kebijakan subsidi pupuk ini perlu kita evaluasi lagi, karena kenyataannya dilapangan ada yang kurang tepat sasaran. Pupuk bersubsidi di distribusikan lewat kelompok tani. Data petani yang tercatat selalu lebih besar dari jumlah yang sebenarnya. Itulah sebabnya kita bisa membeli Pupuk bersubsidi pada kios-kios pertanian yang ada di Desa/Kecamatan. Petani sayuran, palawija dan coklat, dan kelapa sawit banyak juga memakai pupuk bersubsidi. Artinya pupuk subsidi memang menjadi bancakan bagi banyak pihak, termasuk petani sendiri yang menjual jatah pupuknya!