Ahir-ahir ini masalah tenaga kerja Tiongkok yang bekerja di Indonesia menjadi pemberitaan hangat dimana-mana. Maraknya investasi Tiongkok dalam bentuk proyek infrastruktur diseluruh Indonesia menjadi pemicu utamanya. Investor Tiongkok itu, selain membawa tenaga kerja ahli, mereka juga membawa “Low skill labour” atau bahkan “Unskill labour” dalam proyek mereka. Inilah yang menjadi pertanyaan banyak pihak, mengingat untuk “Unskill/Low skill labour” di Indonesia sangat melimpah dengan upah yang kompetitif!
Tentulah Investor Tiongkok itu tidak bodoh, karena mereka tentu saja tahu bahwa untuk tenaga ahli yang setara dengan tenaga ahli Tiongkok banyak tersedia di Indonesia dengan upah yang lebih murah. Akan tetapi investasi mereka ke Indonesia tidak semata hanya ditinjau dari aspek bisnis semata, melainkan juga untuk keseimbangan ekonomi makro di Tiongkok sendiri!
Dua dekade terahir, pertumbuhan ekonomi Tiongkok sangat mencengangkan, terutama pada bidang infrastruktur. Pembangunan jalan tol, jembatan, pembangkit listrik dan waduk raksasa membuat ekonomi Tiongkok bertumbuh dengan pesat. Pembangunan di Tiongkok bahkan membuat harga besi, baja dan semen diseluruh dunia melonjak naik!
Tapi itu cerita dulu! Lima tahun terahir pertumbuhan ekonomi Tiongkok sudah melambat dan kini stagnan. Para kontraktor, industri peralatan, industri baja dan semen terancam gulung tikar karena tidak ada lagi proyek raksasa di dalam negeri. Hal ini akan membuat krisis berantai diseluruh Tiongkok. Tanpa bantuan pemerintah mereka akan sulit bersaing diluar negeri.
Masalah Tiongkok ini hampir sama dengan yang dialami oleh Jepang dua dekade lalu. Ketika didalam negeri tidak ada pasar lagi, maka satu-satunya jalan adalah “bertempur” di luar negeri.
Ahirnya terjadilah pertempuran antara Jepang-Tiongkok dan Korea, terutama di kawasan Asia. Tiongkok juga belajar dari Jepang. Tidak ada satupun investasi Jepang di Indonesia tanpa bantuan Pemerintah Jepang. Tanpa bantuan pemerintah, mereka tidak akan mampu bersaing terutama dari tekanan Korea Selatan!
Sama seperti USA, Jerman dan Jepang, ahirnya Pemerintah Tiongkok berkolaborasi dengan investor mereka untuk berinvestasi di Indonesia. Bisnis adalah bisnis, dan bisnis tidak mengenal ras! Investor Tiongkok itu kalau boleh, pasti akan memakai “Engineer Bangladesh” kalau gajinya lebih murah. Akan tetapi mereka berkewajiban “membawa” karyawan, peralatan dan material dari Tiongkok untuk menjaga stabilitas didalam negeri!
Tentu saja investor akan memasukkan “kewajiban” itu sebagai biaya yang akan dikompensasikan kepada Pemerintah Tiongkok. Selain itu investor juga bisa berlindung dibawah “ketiak” pemerintah ketika terjadi sesuatu. Jadi dalam hal ini investor memang diuntungkan, karena tanpa dukungan pemerintah, hampir mustahil investor/kontraktor Tiongkok mampu bersaing di Indonesia, karena menyangkut “Kepercayaan” Kalau orang Indonesia keturunan Tiongkok saja sulit mempercayai Tiongkok asli, bagaimana lagi dengan yang pribumi?
***
Diluar bidang infrastruktur, sebenarnya banyak expatriat Tiongkok ilegal yang “berkeliaran” di Indonesia. Kebanyakan mereka bekerja sebagai Chef di hotel/restoran, teknisi, dokter klinik kecantikan, tukang, pekerja seni, penyanyi dan juga pelacur. Selain karena etos kerjanya baik, expatriat Tiongkok banyak dicari karena pekerjaannya teliti, cepat dan upah kerjanya yang lebih murah.
Sama seperti TKI ilegal diluar negeri, dan juga tenaga kerja ilegal diseluruh dunia, kehidupan expatriat Tiongkok itu seperti sapi perahan juga. Setelah dipotong biaya disana-sini, mereka beruntung kalau bisa mengantungi 30% dari pendapatan mereka. Layaknya pekerja ilegal asing, nasib mereka juga sewaktu-waktu bisa terancam dipenjara dan diperas aparat yang berwajib!