Lihat ke Halaman Asli

Reinhard Hutabarat

TERVERIFIKASI

Penikmat kata dan rasa...

Petani Masa Kini, Nasibmulah Pak

Diperbarui: 5 Juli 2016   20:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto : www.bangsaonline.com

NB : “Pak, saya perlu duit buat beli buku-buku, beli pakaian juga ya pak, sekalian uang jajan dibanyakin ya pak, ojo lali. Assalamualaikum...”

Pak Slamet tertawa bahagia membaca catatan penting diujung surat yang dikirim anaknya yang masih berkuliah di Jakarta itu...

Itu adalah kisah masa lalu kehidupan para petani di desa. Para petani yang tidak “makan sekolahan” itu, berusaha menyekolahkan anak-anak mereka ke kota-kota besar di negeri ini, dengan harapan agar kehidupan mereka lebih baik dari mereka yang tinggal di desa.

Tidak semua anak-anak itu bisa kuliah di universitas negeri, malah kebanyakan mereka kuliah di universitas swasta yang lebih mahal biayanya. Tetapi hal tersebut tidak terlalu memusingkan orangtuanya. Yang penting anak-anak itu tetap semangat menyelesaikan kuliahnya agar bisa menjadi “orang!”

Desa adalah simbol kebodohan, inferiority dan kemiskinan! Begitulah pemahaman para petani di desa itu, padahal mereka mempunyai aset tanah kebun/perladangan, sawah, dan mungkin juga beberapa ternak sapi atau domba. Kalau dengan hitungan nilai sekarang, banyak para petani di desa itu adalah milyarder! Betapa tidak! Kalau hitungan harga tanah Rp 50 ribu/m2, dan mereka memiliki 6 Ha tanah ladang, maka harga tanah tersebut adalah Rp 3 Milyar!

Kalau SPG showroom mobil mewah yang di mall itu bisa merayu para petani itu, mungkin petani itu akan tertarik juga membeli mobil kupe dua pintu!

Itulah sebabnya dulu itu, banyak petani yang tidak memusingkan biaya sekolah dan kos anaknya di kota. Para petani itu memang jarang memegang uang cash yang banyak. Kalau anaknya perlu dana dadakan, beras di lumbung bisa “di-cash-kan. Kambing, sapi bahkan sawah pun bisa “ditunaikan” dengan cepat! Itulah sebabnya walaupun milyarder, kehidupan mereka tetap sederhana seperti bagaimana kehidupan orang-orang di desa. Milyarder di desa itu biasa “nyeker” ke ladang/sawah sambil menyelipkan golok di pinggangnya.

Tapi itu cerita dulu jaman 20-30 tahun yang lalu. Kini kebanyakan petani di desa itu adalah “buruh sekaligus penjaga tanah majikan diatas tanah kakeknya sendiri!” Mengapa bisa begitu? Salah satunya adalah akibat anak-anak yang pergi kekota itu, yang kini disebut sebagai “Anak kota!” Sebagian kecil Anak kota itu berhasil “menjadi orang” bahkan bekerja atau melanjutkan kuliah di luar negeri. Akan tetapi, lebih banyaklah Anak kota itu “gagal menjadi orang” dan menjadi beban bagi orangtua mereka yang tinggal di desa.

Anak kota dan juga para orangtua yang kini sering melihat anaknya di kota besar itu, membawa perubahan “sosial” di di desa. Kini kehidupan di desa dipengaruhi oleh kehidupan kota. Anak kota membawa hedonisme, kehidupan malam, free-sex, narkoba, dan gadget ke desa!

Era reformasi juga membawa perubahan besar di desa. Kini kehidupan sosial lebih meriah di desa. Kalau dulu jam 8 malam, kehidupan di desa sudah sunyi sepi, apalagi aliran listrik dari PLN belum ada. Kini kehidupan di desa hampir sama seperti di kota. Warung kopi masih ramai jam 11 malam. Cafe remang-remang bahkan buka sampai jam 4 pagi!

Dulu biaya bulanan rumah tangga di desa sangat murah. Belanja dapur hanya membeli ikan asin, ikan laut, garam, gula dan mi instan. Beras, daging, sayuran dan buah tidak perlu dibeli karena ada dirumah. Semua anggota keluarga beraktifitas dengan berjalan kaki atau naik sepeda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline