Lihat ke Halaman Asli

Lemah Vs Lembut

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lemah-lembut itu harusnya tidak saling bersahabat. Lemah-lembut itu harusnya tidak menjadi patron untuk menggambarkan sosok wanita sejati-idaman seluruh dunia. Seolah-olah jika seorang wanita tidak menerapkan lemah-lembut maka ia akan dikutuk mejadi batu seperti malin kundang anak durhaka :p

Wanita memang harus lembut, tapi tidak boleh lemah. Lembut adalah fitrah seorang wanita, se-tomboy apapun seseorang pasti ada sisi kelembutan yang ia simpan. Menurutku semua wanita punya sisi itu, hanya perlu dimunculkan saja. Wanita harus cukup lembut unutuk mengusap kepala anak-anaknya, menebarkan kasih sayang, menjadi sandaran bagi kelelahan suaminya, menjadi penerang dan pemberi ketenangan untuk keluarganya.

Tapi untuk "lemah"? No! Big No!

Wanita sejati seharusnya tidak pernah identik dengan kata lemah. Mereka harus kuat untuk menguatkan suaminya, mereka harus kuat untuk mendidik dan membesarkan anak-anakya -menyiapkan mereka menjadi generasi rabbani-, mereka harus kuat dan tidak cengeng untuk memanggul amanah-amanah perbaikan umat. Cukup kuat untuk mampu mengurus dirinya, anaknya, suaminya, orang tuanya, dan masyarakat. Mereka adalah tiang sebuah bangsa...

Wanita menyimpan kekuatan dan memiliki kelembutannya. Tidak cengeng dan manja, tidak mudah menyerah, tidak cepat berputus asa. Khadijah, Asma, Fatimah, dan banyak lagi jajaran wanita yang mengukir sejarah-sejarah besar dunia tidak pernah memilih jalan menjadi wanita yang lemah. How about you? :)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline