Salju
#Seri Pasca “Perbincangan Kala Hujan”
Ketika kau membaca tulisan ini, aku telah berada di suatu negeri yang jauh. Di suatu negeri tropis, yang bermandikan cahaya matahari sepanjang tahun.
Maaf. Karena aku tak bisa berhenti menulis tentangmu. Bukan karena aku tak mau melepaskan diri dari masa lalu. Tapi menulis, adalah satu-satunya jalan yang membuatku merasa nyaman.
Bersama tulisan ini, aku titipkan sebuah pensil pemberianmu. Pensil dengan ukiran angka 111211 yang pernah kau minta aku tuk menjaganya. Tapi sepertinya aku harus meminta maaf, aku harus mengembalikannya, karena pensil itu harus berada di tangan yang lebih berhak. Tentu saja, bukan aku.
***
Di sebuah rumah, suatu pagi.
Aku mengemasi barang-barangku dalam sebuah koper besar. Mau tak mau, aku terpaksa memasukkan: jejak-jejak mimpi dan kenangan ke dalam suatu peti kecil yang rapuh. Satu-satunya peti yang aku temukan.
Pagi itu, hujan salju baru saja reda. Sejak hampir tengah malam, badai salju menampar-nampar semua penjuru kota. Beberapa ruas jalan terpaksa ditutup dan pagi ini petugas kota sedang sibuk membersihkan timbunan salju. Kemarin malam seluruh warga kota panik, karena salju tidak pernah diprediksi akan datang secepat ini. “Fenomena luar biasa”. Ujar pengamat klimatologi dalam sebuah siaran berita.
Aku memandang sayang pada bunga lili yang kita tanam. Pada tiap-tiap sudut rumah yang baru kita tinggali selama 40 hari. Adalah rumah jika memberikanmu kedamaian, kebahagiaan, dan rasa aman. Aku mendapatkannya disini.
Namun sayang, badai salju semalam, membuat rumah ini berantakan. Aku tak tau pasti apa yang terjadi. Tapi sebagian dari dinding rumah ini rubuh. Pot-pot di pekarangan hancur berantakan, dan bunga-bunga mawar yang kita tanam telah mati dihempas badai. Beruntung, aku berlindung di suatu kamar yang cukup hangat dan nyaman, sehingga aku tak perlu mengalami hal-hal buruk lainnya. Badai ini sudah cukup buruk bagiku.
***
Pergi
Jalan-jalan kota yang aku lewati dipenuhi salju. Petugas kota sepertinya benar-benar bekerja keras menyingkirkan timbunan salju dari jalan-jalan utama. Aku bersyukur, penerbangan hari ini tidak ditutup. Satu-satunya yang terpikir adalah bagaimana meninggalkan kota ini secepatnya. Dengan penerbangan paling awal, akhirnya aku harus mengucapkan selamat tinggal. Selamat tinggal padamu, pada sebuah rumah yang nyaman.
***
Negeri Tropis ini…
Di sebuah negeri tropis ini, matahari bersinar dimana-mana. Dengan beberapa teman baik yang penuh tawa, aku memutuskan untuk pergi mencari lebih banyak matahari. Menyerap energi matahari akan mengganti bayangan-bayangan gelap dan mengerikan tentang sebuah kota lama yang tertutup badai salju. Maka perjalanan mencari matahari itu pun dimulai ke sebuah tempat di ujung Pulau Yavadwipa.
***
Melepas saja…
Pagi itu, matahari terbit begitu indah. Dari sebuah bukit-padang ilalang yang berembun, aku melihat matahari dengan semburat merahnya berdiri malu-malu. Berlatar air biru dan debur ombak yang tenang. Pagi itu, adalah pagi pertama yang mencairkan bayangan kegelapan.
Aku menapak pasir yang sehalus beludru. Membiarkan buih-buih ombak menyapu jejak-jejak kaki. Air yang biru, debur yang tenang, dan langit fajar. Sepintas aku melihat siluete-mu di kejauhan. Ini sudah cukup bagiku, dalam diam, tanpa kata. Kita tak perlu bicara apa-apa. Dalam diam itu, aku letakkan sebuah peti rapuh di kakimu. Membiarkannya ditenggelamkan ombak. Dalam lirih aku mengikat perjanjian. Aku lepas, semua. Sungguh, jangan berjanji untuk kembali (lagi).
Kabar terakhir hanya saljuSuara dari jauh, dihembus waktuKita tak lagi berdoa. Kita bisa menerka Hanya ada senja, panas penghabisan yang renta
*
Aku pun tahu: sepi kita semulabersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
(Goenawan Muhammad)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H