Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan teknologi telah membawa perubahan besar pada industri jurnalisme. Digitalisasi memungkinkan penyebaran informasi yang cepat dan menjangkau audiens yang luas. Namun, di balik kemajuan tersebut, muncul berbagai tantangan yang mengancam integritas jurnalisme. Masalah seperti disinformasi, algoritma yang bias, dan tekanan untuk menyajikan berita secara cepat telah menciptakan krisis kepercayaan terhadap media.
Masalah
Salah satu masalah terbesar yang dihadapi jurnalisme modern adalah menurunnya kepercayaan publik. Masyarakat semakin skeptis terhadap media, terutama dengan maraknya berita palsu (hoaks) yang tersebar luas di platform digital. Berita-berita sensasional sering kali lebih menarik perhatian dibandingkan berita faktual dan mendalam.
Selain itu, dominasi platform teknologi seperti Google, Facebook, dan Twitter telah mengubah cara informasi didistribusikan. Algoritma yang dirancang untuk meningkatkan keterlibatan sering kali memprioritaskan konten yang memicu emosi, seperti kemarahan atau ketakutan, dibandingkan berita yang edukatif. Hal ini menciptakan ketimpangan informasi, di mana berita yang penting secara sosial kalah dari konten yang viral.
Sebagai contoh nyata, selama pandemi COVID-19, platform digital menjadi medan utama penyebaran informasi. Sayangnya, bukan hanya fakta yang menyebar, tetapi juga teori konspirasi dan misinformasi yang menyesatkan publik. Akibatnya, masyarakat tidak hanya bingung, tetapi juga kehilangan kepercayaan terhadap media sebagai sumber informasi terpercaya.
Sebab
Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan masalah ini:
1. Tekanan Ekonomi Media
Model bisnis media yang bergantung pada iklan digital telah menciptakan insentif untuk memprioritaskan jumlah klik atau tayangan. Akibatnya, banyak media yang mengorbankan kualitas berita demi keuntungan finansial. Konten clickbait, dengan judul yang bombastis namun sering kali tidak substansial, menjadi tren yang sulit dihentikan.
2. Kurangnya Regulasi pada Platform Digital