Jokowi Gagal! Jokowi Telah Memiskinkan Solo dan Jakarta, Indonesia Diambang Kehancuran
Kurang lebih 4 tahun belakangan, nama Jokowi menghiasi laman hampir semua media massa di Indonesia. Namanya juga tenar di jejaring sosial. Jokowi mendadak popular saat dirinya maju dalam sebagai calon Gubernur DKI Jakarta. Tahun 2012, bertepatan dengan Pilkada DKI, sebuah yasasan Wali Kota Sedunia (The City Mayors Foundation) menempatkan Jokowi Walikota terbaik ketiga di dunia.
Bukan hal yang kebetulan, yayasan yang tidak jelas track record nya tersebut melabelkan Jokowi sebagai Walikota terbaik dunia pada Januari 2013 lalu. Berbagai pihak menduga, penghargaan “abal – abal” itu sengaja dibuat untuk mendongkrak popularitas Jokowi dan menutupi kegagalan kerjanya selama 2 periode memimpin kota Solo.
Dengan adanya penghargaan tersebut, maka masyarakat tidak akan melihat kegagalan Jokowi tetapi diarahkan pada sosoknya yang “ndeso” dan merakyat. Hal yang sangat bertolak belakang dengan apa yang telah diperbuatnya kepada rakyat Solo yang memiliki indeks kemiskinan tertinggi di Provinsi Jawa Tengah tersebut.
Media massa dan sosial media pun dikerahkan untuk mengangkat profil Jokowi. Kita dapat melihat puluhan berita Jokowi setiap harinya, begitu juga dengan media sosial atau jejaring sosial. Sebuah tim dengan anggota yang sangat besar disiapkan untuk mengangkat nama Jokowi lewat media sosial. Tim tersebut dikenal dengan nama Jasmev ( Jokowi – Ahok Social Media Volunteers).
Jasmev bertugas memblow-up berita pencitraan Jokowi baik yang sudah naik di media massa ataupun tentang kegiatannnya sehari – hari. Jasmev secara terus menerus mengangkat pencitraan positif Jokowi dan menyerang siapa saja yang berani mengkritik kinerja Jokowi. Jasmev membuat Jokowi seolah – olah seperti nabi yang tidak memiliki celah dan kesalahan, sehingga muncul istilah nabi Jokowi di jejaring sosial.
Tim Jokowi bekerja sistematis dan berkelanjutan, tujuannya bukan Gubernur DKI tetapi Presiden RI. Tim Jokowi tidak hanya bergerak di media tetapi juga di lapangan dengan membentuk komunitas – komunitas yang menyatakan diri mendukung pencapresan Jokowi. Komunitas yang sengaja dibentuk ini ditujukan untuk menekan Ketua Umum PDIP Megawati agar memberikan izin Pencapresan Jokowi. Strategi ini berhasil, Jokowi dinobatkan sebagai Capres PDIP 2014 dan berhasil membutakan masyarakat siapa sesungguhnya Jokowi dan kepentingan yang memboncenginya di belakang.
Mengenai kegagalan Jokowi di Solo, rasanya tak perlu kita jabarkan satu persatu karena sudah begitu banyak berita tentang ini. Kegagalan Jokowi selama di Solo berimbas juga pada DKI Jakarta. Tidak heran, pemimpin yang terbukti gagal di tingkat kabupaten/kota bagaimana mungkin bisa berhasil memimpin ibukota negara? DKI Jakarta babak belur dibuat Jokowi.
Selain persoalan banjir dan macet, kegagalan Jokowi juga dapat kita lihat dari rendahnya penyerapan APBD Jakarta yang merupakan indikator utama dalam menilai kemampuan dan kinerja seorang kepala daerah. Di tangan Jokowi, serapan APBD DKI Jakarta tercatat paling rendah se- Indonesia dan sepanjang sejarah yaitu 55%.
APBD DKI yang terserap pada tahun 2013 sebagian besar hanya untuk biaya rutin yakni pembayaran dan belanja gaji pegawai pemda DKI dan DPRD. Logikanya, Pemprov tidak memiliki uang dan tidak akan bisa membangun kota Jakarta dan membuat program yang mampu mensejahterakan rakyatnya. Sama seperti Solo, Jokowi telah memiskin Jakarta! inilah faktanya.
Masyarakat tidak boleh menutup mata bahwa Jokowi gagal. Kita tidak boleh terbuai dengan popularitas Jokowi yang memang sudah dirancang sejak jauh – jauh hari. Fenomena Jokowi saat ini sama dengan fenomena SBY pada Pemilu – Pemilu sebelumnya. Kita tertipu dengan sosok SBY saat itu sehingga kita sangat kecewa karena pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,7 persen di akhir masa jabatannya.
Jokowi gagal memimpin Solo dan Jakarta. Jokowi hanya berhasil memiskinkan kedua kota tersebut. Dengan fakta yang ada, bagaimana mungkin Jokowi yang tidak memiliki konsep apapun untuk membangun Indonesia itu dapat kita percayai sebagai pemimpin untuk tanggung jawa yang lebih besar? Ini mustahil!
Selamatkan Indonesia dengan memilih pemimpin yang tepat dan sudah memiliki strategi dan konsep yang jelas untuk membangun negeri ini ke depannya. Indonesia tidak butuh pemimpin yang hanya sibuk pencitraan, Indonesia butuh pemimpin dengan program dan kerja nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H