Lihat ke Halaman Asli

Choirul Anam

Penulis Partikelir

Gus Dur dan Imlek: Merayakan Keberagaman dengan Cinta dan Keberanian

Diperbarui: 29 Januari 2025   09:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gus Dur dan Perayaan Imlek | www.jatim.viva.co.id

Setiap kali Imlek tiba, ingatan kita sering tertuju pada seorang tokoh yang pernah menjadi presiden keempat Indonesia: Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur. Nama ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah bagaimana Imlek kembali dirayakan secara terbuka di Indonesia setelah bertahun-tahun terkekang. Gus Dur, dengan keberanian dan kelapangan hatinya, membuka jalan bagi pengakuan budaya Tionghoa di tanah air. Namun, mengapa peran Gus Dur begitu monumental dalam konteks Imlek, dan apa sebenarnya yang kita pelajari dari kebijakan ini? Mari kita ulas.

Larangan yang Menyekat Keberagaman

Sebelum era Gus Dur, sejarah perayaan Imlek di Indonesia cukup kelam. Di bawah Orde Baru, Imlek termasuk dalam hal-hal yang "dilarang terlihat." Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 menjadi dasar kebijakan yang membatasi ekspresi budaya Tionghoa di ruang publik. Segala hal yang berbau Tionghoa---termasuk bahasa, nama, dan perayaan---dipandang sebagai sesuatu yang harus ditekan atas nama "asimilasi."

Saat itu, Imlek hanya boleh dirayakan dalam lingkup keluarga atau ruang tertutup. Barongsai, yang kini sering kita lihat beraksi di mal atau perkampungan, nyaris tak pernah muncul di ruang publik. Bahkan, etnis Tionghoa sendiri kerap merasa harus menyembunyikan identitas budayanya demi menghindari stigma sosial.

Keberanian Gus Dur Melawan Stigma

Ketika Gus Dur menjadi presiden pada 1999, ia membawa angin perubahan. Salah satu kebijakan pentingnya adalah mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000, Gus Dur menetapkan bahwa Imlek boleh dirayakan secara terbuka sebagai bagian dari ekspresi kebudayaan. Tidak hanya itu, Gus Dur juga mengakui Konghucu sebagai agama yang resmi di Indonesia. Sebelumnya, Konghucu sering dipandang sebagai "agama kelas dua" dan hanya diakui secara administratif tanpa kebebasan beribadah yang nyata.

Langkah Gus Dur ini sangat berani. Ia tahu betul bahwa langkah tersebut akan menuai kritik, terutama dari kelompok yang menganggap kebijakan ini "tidak sesuai" dengan semangat mayoritas. Namun, bagi Gus Dur, hak budaya dan kebebasan beragama adalah prinsip yang tidak bisa ditawar. "Kalau kita ingin Indonesia menjadi negara yang inklusif, semua warganya harus merasa diterima, tanpa kecuali," begitu kira-kira prinsip yang ia pegang.

Imlek dan Nilai Keberagaman

Kebijakan Gus Dur tidak hanya membawa Imlek kembali ke ruang publik, tetapi juga mengembalikan rasa percaya diri etnis Tionghoa sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Kini, perayaan Imlek tidak hanya milik masyarakat Tionghoa, tetapi juga dinikmati oleh masyarakat dari berbagai latar belakang. Barongsai, lampion, angpao, hingga festival budaya kini menjadi bagian dari keragaman yang kita rayakan bersama.

Namun, Imlek lebih dari sekadar pesta. Ia adalah simbol persatuan dalam keberagaman. Dalam budaya Tionghoa, Imlek merupakan momen untuk merenungkan perjalanan setahun ke belakang, mempererat hubungan keluarga, dan memulai tahun baru dengan harapan dan doa. Dalam konteks Indonesia, Imlek juga mengingatkan kita bahwa keberagaman budaya adalah kekayaan yang harus kita jaga bersama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline