Ketika mendengar kata "koperasi," apa yang terlintas di pikiran kita? Mungkin gambaran tentang simpan pinjam, rapat anggota tahunan yang membosankan, atau sekadar papan nama yang nyaris tak terbaca di pojok desa. Namun, koperasi syariah membawa cerita yang berbeda---bukan sekadar tempat meminjam uang atau menyimpan simpanan, melainkan sebuah gerakan ekonomi berbasis kebersamaan, keadilan, dan tentu saja, jauh dari jeratan riba.
Mari kita mulai dari riba. Kata ini sering jadi momok dalam diskusi keuangan umat Islam. Riba bukan hanya masalah agama; ia adalah masalah ekonomi, bahkan moral. Bagaimana tidak? Sistem riba menciptakan ketimpangan. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin tercekik. Bahkan, Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya menyebutkan bahwa dosa riba itu lebih besar dari zina---dan bukan zina sembarangan, tapi zina dengan kerabat sendiri! Bayangkan betapa seriusnya dampak riba ini.
Namun, menjauhkan diri dari riba di zaman sekarang itu seperti mencoba berenang di kolam tanpa basah. Bank konvensional, kartu kredit, hingga cicilan motor semua terbungkus rapi dalam sistem bunga. Inilah yang membuat koperasi syariah menjadi harapan baru. Ia bukan sekadar lembaga ekonomi, tetapi juga cara hidup---sebuah jihad ekonomi, kalau boleh dibilang.
Mengapa Koperasi Syariah?
Pertama, koperasi syariah tidak berorientasi pada keuntungan semata, melainkan keadilan dan keberkahan. Prinsip dasar koperasi syariah adalah syirkah (kerjasama) dan akad-akad yang sesuai syariah, seperti mudharabah (bagi hasil) dan musyarakah (kerjasama modal). Tidak ada bunga, tidak ada riba. Semua keuntungan dibagi secara adil sesuai kesepakatan.
Contohnya, jika Pak Ahmad meminjam modal untuk usaha nasi goreng dari koperasi syariah, ia tidak dibebani bunga tetap. Sebaliknya, koperasi dan Pak Ahmad berbagi keuntungan sesuai hasil usaha. Kalau dagangannya laris, semua senang. Kalau lagi sepi, koperasi tidak memerasnya dengan bunga tetap. Bukankah ini jauh lebih manusiawi?
Kritik terhadap Ekonomi Konvensional
Sistem ekonomi konvensional sering kali membungkus eksploitasi dalam baju "efisiensi." Bank besar dengan gagahnya mengucurkan kredit miliaran kepada korporasi, tetapi setengah mati memberi pinjaman kepada petani kecil. Padahal, petani dan pelaku UMKM inilah tulang punggung ekonomi kita.
Di sinilah koperasi syariah mengambil peran. Ia bukan milik segelintir orang, melainkan milik bersama. Setiap anggota adalah pemilik sekaligus pengguna layanan koperasi. Prinsip ini membuat koperasi lebih peduli kepada kebutuhan anggota, bukan sekadar mengejar laba untuk pemegang saham seperti bank konvensional.
Namun, koperasi syariah juga bukan tanpa tantangan. Banyak yang menganggap sistem syariah ini "ribet" karena melibatkan banyak akad dan fatwa. Ada juga yang skeptis, menganggap koperasi syariah tak lebih dari gimik religi. "Ah, cuma tempelan syariah, ujung-ujungnya sama saja!" kata sebagian orang. Tapi, tunggu dulu.