Lihat ke Halaman Asli

Choirul Anam

Penulis Partikelir

Kolaborasi Tren Gaya Hidup YONO dan YOLO

Diperbarui: 11 Januari 2025   07:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Gaya Hidup | kompas.com

Kita semua pasti pernah mendengar frasa legendaris YOLO (You Only Live Once), yang merajai media sosial di era 2010-an. Filosofi ini mengajarkan kita untuk menikmati hidup sepenuhnya, tanpa takut mengambil risiko. Namun, di tengah semakin kompleksnya kehidupan modern, YOLO perlahan mulai kehilangan relevansinya. Sebagai gantinya, muncul tren baru: YONO (You Only Need One). Tren ini menggeser paradigma hidup impulsif menjadi lebih bijaksana dan berorientasi jangka panjang. Lantas, apa itu YONO? Mengapa tren ini semakin diminati, dan bagaimana kita bisa menerapkannya?

Dari YOLO ke YONO: Perubahan Perspektif Hidup

Ketika YOLO muncul, ia seperti angin segar. Filosofinya mendorong generasi muda untuk keluar dari zona nyaman, mengejar mimpi, dan menikmati hidup tanpa rasa takut. Namun, YOLO juga sering disalahartikan sebagai alasan untuk bersikap impulsif: liburan mewah tanpa perencanaan finansial, resign dari pekerjaan tanpa cadangan, atau bahkan keputusan ekstrem lainnya. Tak jarang, hidup yang dibangun atas nama YOLO justru berakhir dengan penyesalan.

Di sinilah YONO hadir. Berbeda dengan YOLO, YONO mengajarkan kita untuk menghargai kehidupan "normal" yang sering dianggap membosankan. Filosofi ini mengingatkan bahwa hal-hal sederhana, seperti makan malam bersama keluarga, bekerja dengan stabil, atau menikmati hobi di rumah, adalah bentuk kebahagiaan yang sering kita lupakan. Hidup "normal" yang terencana dan bermakna menjadi aset berharga di tengah dunia yang serba cepat dan penuh tekanan.

Mengapa YONO Semakin Relevan?

Dalam beberapa tahun terakhir, perubahan besar dalam masyarakat global memicu pergeseran pola pikir dari YOLO ke YONO. Pandemi COVID-19, misalnya, mengajarkan kita pentingnya stabilitas dan rutinitas. Ketika dunia terhenti sejenak, kita mulai merasakan nikmatnya hal-hal kecil: berkebun di rumah, memasak bersama keluarga, atau bahkan sekadar membaca buku di sore hari. Banyak orang mulai sadar bahwa kehidupan "normal" yang dulu dianggap remeh adalah kemewahan yang sebenarnya.

Selain itu, generasi muda kini menghadapi tantangan yang berbeda. Lonjakan biaya hidup, perubahan iklim, dan ketidakpastian ekonomi membuat gaya hidup impulsif semakin sulit dijalani. Data dari World Economic Forum pada 2023 menunjukkan bahwa 60% generasi milenial dan Gen Z lebih memilih menabung dan berinvestasi dibandingkan menghabiskan uang untuk pengalaman sekali seumur hidup. Ini adalah bukti nyata bahwa YONO bukan hanya sekadar tren, tetapi respons adaptif terhadap dunia yang semakin tidak pasti.

Kritik Terhadap YONO: Apakah Ini Sekadar "Gaya Hidup Aman"?

Meski terlihat menjanjikan, YONO bukan tanpa kritik. Beberapa pihak berpendapat bahwa tren ini terlalu berorientasi pada zona nyaman, sehingga berpotensi membuat seseorang takut mengambil risiko. Bagaimanapun, sebagian besar pencapaian besar dalam hidup---baik itu mendirikan bisnis, pindah ke kota baru, atau belajar keterampilan baru---membutuhkan keberanian untuk keluar dari kehidupan "normal."

Namun, YONO tidak benar-benar menolak keberanian. Filosofi ini lebih menekankan pada keberanian yang terencana dan bertanggung jawab. Alih-alih mengambil keputusan impulsif ala YOLO, YONO mendorong kita untuk merancang risiko dengan matang. Sebagai contoh, seseorang yang ingin resign dari pekerjaan untuk memulai bisnis akan memastikan mereka memiliki dana darurat, rencana bisnis yang solid, dan dukungan dari orang-orang terdekat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline