Tahun baru 2025 datang berbarengan dengan kehadiran bulan Rajab 1446 H, sebuah momen yang istimewa bagi umat Islam. Sebagai bulan ketujuh dalam kalender hijriah, Rajab memiliki makna spiritual yang dalam. Ini adalah bulan haram, bulan mulia di mana dosa-dosa sebaiknya dijauhi, dan kebaikan-kebaikan diperbanyak. Uniknya, kali ini ia bertepatan dengan euforia tahun baru masehi, sebuah pertemuan dua kalender yang menggugah refleksi: bagaimana kita, sebagai individu maupun masyarakat, menyikapi pergantian waktu ini?
Resolusi dan Renungan
Bicara soal tahun baru, resolusi adalah kata kunci. Media sosial penuh dengan target-target pribadi, mulai dari ingin lebih rajin olahraga hingga menabung untuk liburan ke tempat impian. Tapi, pernahkah kita berpikir bahwa resolusi bukan sekadar daftar keinginan? Resolusi adalah janji kepada diri sendiri, sekaligus bentuk tanggung jawab untuk menjadi lebih baik. Di sisi lain, Rajab mengingatkan kita tentang perjalanan spiritual. Dalam sejarah Islam, Rajab memiliki momen penting, seperti peristiwa Isra Mi'raj yang mempertegas kewajiban shalat lima waktu. Bukankah ini kesempatan sempurna untuk menjadikan shalat sebagai resolusi utama?
Namun, mari kritis sejenak. Sering kali, resolusi hanya menjadi formalitas tahunan. Data menunjukkan bahwa lebih dari 80% orang gagal mewujudkan resolusi mereka. Kenapa begitu? Sebab resolusi sering kali dibuat tanpa rencana yang jelas. Sebagai contoh, "ingin sehat" tanpa strategi adalah angan-angan belaka. Padahal, resolusi yang baik seharusnya SMART: Specific, Measurable, Achievable, Relevant, dan Time-bound.
Rajab dan Refleksi Spiritual
Di bulan Rajab, umat Islam diajak untuk merenungi perjalanan hidup. Bulan ini adalah waktu yang tepat untuk memperbanyak ibadah, seperti berpuasa sunnah atau bersedekah. Tradisi ini mengajarkan bahwa setiap waktu memiliki nilai yang berbeda. Tidak semua hari adalah sama, dan tidak setiap kesempatan datang dua kali.
Rajab juga memberi kita pelajaran penting tentang waktu sebagai aset spiritual. Tahun baru sering diartikan sebagai momen untuk "memulai dari nol." Namun, jika ditilik dari perspektif Islam, setiap hari sebenarnya adalah kesempatan baru untuk bertobat dan memperbaiki diri. Jadi, kenapa menunggu tahun baru untuk berubah, jika Rajab sudah menawarkan pintu maaf yang lebar dari Sang Pencipta?
Menjembatani Tradisi dan Modernitas
Menariknya, perayaan tahun baru masehi dan penghayatan bulan Rajab sering kali mencerminkan dua dunia yang tampak berbeda. Tahun baru identik dengan kemeriahan: kembang api, pesta, dan countdown di detik terakhir. Sebaliknya, Rajab membawa suasana hening dan penuh kontemplasi.
Tapi, apakah keduanya harus selalu bertolak belakang? Tidak juga. Tradisi tahun baru bisa diisi dengan hal-hal yang lebih bermakna, misalnya, mengganti pesta kembang api dengan doa bersama keluarga. Bukankah lebih indah memulai tahun baru dengan harapan yang dipanjatkan, daripada hanya sekadar sorak sorai sesaat?