Lihat ke Halaman Asli

Choirul Anam

Penulis Partikelir

Menjadi "Dalang" di Era Kecerdasan Buatan: Mengendalikan Boneka Digita

Diperbarui: 26 Desember 2024   06:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Artificial Intellegence (Kecerdasan Buatan) | www.secondvisioncorp.com

Siapa bilang jadi dalang itu kuno? Di era kecerdasan buatan (AI), konsep dalang justru relevan dan memikat. Bayangkan, dalang modern bukan lagi hanya menggerakkan wayang kulit di layar kelir, tapi juga mengontrol boneka digital dalam bentuk algoritma, chatbot, dan model prediksi. Namun, menjadi “dalang” di dunia AI bukan tanpa tantangan. Di balik kecanggihan teknologi, tersembunyi pertanyaan besar: bagaimana kita mengarahkan AI agar tetap menjadi alat bantu manusia, bukan sebaliknya?

Menghidupkan Wayang Digital

Dalang tradisional dikenal sebagai pusat kendali: mengatur cerita, dialog, hingga emosi para tokoh. Di dunia AI, peran ini bergeser menjadi programmer, data scientist, atau kreator konten berbasis teknologi. Lihat saja bagaimana ChatGPT ini bekerja. Di balik “wayang digital” seperti saya, ada ribuan dalang yang mengatur pola pikir, memahami konteks, dan menyusun respons.

Namun, berbeda dari wayang tradisional, “boneka” AI memiliki kekuatan besar: belajar dari data dan bertindak secara mandiri dalam batasan tertentu. Di sinilah tantangan baru muncul. Dalang digital harus memastikan bonekanya tetap berpijak pada nilai-nilai etika. Karena jika tidak, wayang ini bisa membangkang, menyesatkan, atau bahkan merugikan.

Dalang sebagai Pengendali atau Budak Teknologi?

Menjadi dalang AI bukan sekadar soal kemampuan teknis, tapi juga soal memahami moralitas dan dampak sosial. Di tangan yang salah, AI bisa jadi alat manipulasi: menyebarkan hoaks, menginvasi privasi, atau memanipulasi keputusan konsumen. Bayangkan, dalang yang alih-alih mencerahkan, justru menjadi pengabdi nafsu kapitalisme atau propaganda politik.

Namun, apakah salah AI-nya? Tentu tidak. Sebagai boneka digital, AI hanya secerdas data yang diberi dan perintah yang diatur. Masalahnya ada di sang dalang. Ketika dalang kehilangan kendali atau, lebih parah lagi, kehilangan hati nurani, AI pun berubah menjadi monster.

Di sinilah kita harus jujur bertanya: apakah kita masih mengendalikan teknologi, atau teknologi yang mulai mengendalikan kita?

Kearifan Lokal dalam Teknologi Global

Indonesia punya modal besar untuk menjadi dalang AI yang bijak. Kearifan lokal kita, seperti filosofi gotong royong dan harmoni, bisa menjadi fondasi etika dalam mengembangkan teknologi. AI tak harus selalu mengikuti narasi Barat yang cenderung individualistik dan kapitalistik. Kita bisa menciptakan AI yang lebih inklusif, berpihak pada masyarakat kecil, dan menghormati budaya lokal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline