Lihat ke Halaman Asli

Choirul Anam

Penulis Partikelir

Mengejar Badai

Diperbarui: 20 Desember 2024   16:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengejar Badai| www .imcnews.id

Hujan deras menghantam kaca jendela kamar kosku. Suaranya seperti konduktor orkestra yang sedang berlatih---berisik, kacau, tapi entah kenapa tetap harmonis. Di luar sana, badai tropis baru saja diumumkan akan melintasi kota kecil kami. Bukannya khawatir, aku malah merasa ini kesempatan yang tak boleh dilewatkan.

"Kenapa kamu malah senyam-senyum begitu, Joni?" tanya Aris, teman sekosanku, sambil menyeruput mi instan.

"Aku mau ngejar badai!" jawabku dengan semangat 45.

Aris berhenti mengunyah. "Ngejar badai? Emangnya kamu mau jadi pemburu tornado ala film-film Hollywood?"

"Ya, kira-kira begitu," jawabku sambil memasukkan jas hujan ke dalam tas. "Aku sudah lama penasaran, Ris. Seperti apa sih rasanya ada di tengah badai? Apa anginnya benar-benar bisa bikin kita melayang kayak Superman?"

Aris hanya melongo. "Kamu tahu kan, ini bukan film. Kalau tersapu angin, kamu bukan melayang, tapi beterbangan kayak kantong plastik!"

"Tapi seru, kan?"

Aris menggeleng. "Kamu memang gila."

Aku hanya tertawa dan melangkah keluar dengan percaya diri. Di luar, angin sudah mulai berhembus kencang. Jalanan basah dan licin, tapi aku tak peduli. Dengan motor bututku, si "Biru Langit", aku berangkat menuju arah badai berdasarkan petunjuk dari aplikasi cuaca.

Di tengah perjalanan, aku merasa seperti pahlawan dalam film aksi. Angin mengguncang motorku, tapi aku bertahan. Hujan mencambuk wajahku, tapi aku terus melaju. Di dalam hati, aku merasa menjadi orang paling nekat di kota ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline