Lihat ke Halaman Asli

Choirul Anam

Penulis Partikelir

Menurunnya Partisipasi Pemilih di Pilkada Bojonegoro 2024

Diperbarui: 11 Desember 2024   11:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Partisipasi Pemilih Pilkada 2024 | www.antaranews.com

Hari pencoblosan Pilkada Bojonegoro 2024 sudah berlalu, namun ada cerita yang mengganjal: dari target 85% partisipasi yang dipatok KPU, hanya 78% pemilih yang hadir di TPS. Selisih 7% ini mungkin terlihat kecil di atas kertas, tapi dalam demokrasi, setiap suara adalah cerminan kepercayaan rakyat. Jadi, apa yang membuat kehadiran pemilih tidak sesuai harapan? Mari kita kupas pelan-pelan.

Antusiasme yang Meredup

Dalam semarak Pilkada, KPU Bojonegoro sudah bekerja keras. Sosialisasi digalakkan melalui berbagai media, dari poster, spanduk, hingga kampanye di media sosial. Tak hanya itu, komunitas lokal dan tokoh masyarakat pun digandeng untuk mengajak warga menggunakan hak pilih. Namun, kenyataan berkata lain.

Salah satu alasan yang sering terdengar adalah minimnya daya tarik kandidat. Bagi sebagian pemilih, kandidat yang bertarung tidak cukup memberi harapan baru. Mereka mungkin terlihat seperti "wajah lama dengan janji baru." Akibatnya, banyak yang merasa tak ada bedanya, siapa pun yang terpilih.

Mengapa Rakyat Menjauh?

Ada beberapa alasan mendasar mengapa partisipasi pemilih tidak mencapai target. Pertama, rasa apatis yang mengakar. Ini bukan apatis yang lahir dalam semalam, melainkan akumulasi kekecewaan dari pemilu ke pemilu. Janji-janji manis yang tidak terealisasi, kebijakan yang jauh dari kebutuhan rakyat, hingga korupsi yang terus berulang, semua itu membuat sebagian orang berpikir, "Untuk apa memilih?"

Kedua, logistik dan aksesibilitas. Bagi sebagian warga di pedesaan Bojonegoro, lokasi TPS yang jauh menjadi penghalang. Ketika harus memilih antara pergi ke TPS atau bekerja di ladang untuk penghasilan sehari-hari, pilihan logis bagi mereka jelas bukan politik.

Ketiga, kurangnya pendidikan politik. Banyak warga yang belum memahami betul pentingnya suara mereka. Ini bukan semata-mata soal tidak mau peduli, tapi mereka belum merasa bahwa satu suara bisa membawa perubahan.

Generasi Muda dan Digitalisasi

Generasi muda sering disebut sebagai motor perubahan. Namun, ironisnya, mereka juga menjadi kelompok dengan partisipasi yang cenderung rendah. Padahal, berbagai inovasi digital sudah dilakukan, mulai dari kampanye kreatif di media sosial hingga kolaborasi dengan influencer lokal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline