Kata siapa menulis cuma soal berbagi cerita atau bikin novel best-seller? Nyatanya, menulis juga bisa jadi media healing, atau penyembuhan diri. Ada yang bilang, "Tuliskan apa yang kamu rasakan, dan biarkan tulisanmu menjadi obat." Bagi banyak orang, menulis adalah cara untuk melepas penat, menyusun pikiran yang kusut, dan bahkan, menyembuhkan hati yang terluka.
Salah satu penulis yang percaya akan kekuatan ini adalah AS Laksana. Menurutnya, menulis itu bukan cuma soal teknik atau merangkai kata-kata indah, tapi lebih dari itu, menulis adalah tentang proses internalisasi-mengenali diri sendiri melalui kata-kata.
Dia mengatakan bahwa ketika kita menulis, kita sedang berbicara pada diri sendiri. Dan itulah yang membuat menulis jadi alat healing yang luar biasa.
Coba bayangkan. Saat kita merasa tertekan, pikiran kita seperti jalan raya di jam macet penuh, semrawut, dan bikin pening. Nah, menulis bisa jadi semacam jalan tol buat merapikan semua kekacauan itu. Menulis membebaskan kita untuk menumpahkan segala isi hati, tanpa takut dihakimi. Beda dengan curhat ke teman yang kadang malah bikin kita tambah pusing dengan saran yang tak diminta.
Menulis juga memberi kita kesempatan untuk jujur. Saat kita menulis di jurnal atau blog pribadi, kita bebas jadi diri sendiri. Bahkan hal-hal yang sulit kita ungkapkan pada orang lain, bisa kita sampaikan lewat tulisan. Tulisan bisa menjadi tempat berlindung dari kebingungan dan emosi yang meluap-luap. Rasanya, seperti duduk dengan diri sendiri, minum teh, dan pelan-pelan mengurai benang kusut di kepala.
Menurut banyak penulis lainnya, menulis juga membantu kita merefleksikan perasaan. Elizabeth Gilbert, penulis Eat, Pray, Love, misalnya, menggunakan menulis untuk menyembuhkan diri dari patah hati. Dia menuliskan setiap rasa sakit yang ia alami, dan dengan begitu, dia tak hanya melepaskan rasa sakit itu, tapi juga menemukan kedamaian baru. "Menulis memberi ruang bagi kita untuk mendengarkan suara hati kita," katanya.
Menariknya, menulis tak harus sempurna untuk bisa jadi terapi. Malah, kadang tulisan yang paling berantakan bisa menjadi yang paling menyembuhkan. Saat kita menulis tanpa beban untuk "bagus" atau "indah", tulisan itu menjadi refleksi jujur dari apa yang kita rasakan.
Mungkin tulisan kita dipenuhi typo, kalimat-kalimat tak rapi, atau paragraf yang meloncat-loncat tak karuan. Tapi tak masalah, karena yang penting bukan hasilnya, melainkan proses menumpahkan perasaan itu sendiri.
Lalu, apa hubungannya semua ini dengan healing? Saat kita menulis, kita diajak untuk memetakan apa yang kita pikirkan dan rasakan. Kita menjadi lebih sadar akan apa yang sedang mengganggu, apa yang membuat kita bahagia, atau apa yang sebenarnya kita butuhkan. Dan seperti halnya berbicara pada teman dekat, menulis membantu kita merasa lebih ringan.
Ada juga teori dari penulis seperti Julia Cameron, yang percaya bahwa menulis bebas atau freewriting setiap pagi (yang dia sebut morning pages) bisa membersihkan pikiran dari "sampah mental". Dengan menulis tanpa filter, kita membersihkan ruang di kepala untuk hal-hal yang lebih penting dan kreatif.