Sejak pertama kali diperkenalkan, Ujian Nasional (UN) selalu menjadi sorotan dalam dunia pendidikan Indonesia. Dikenal sebagai tolok ukur keberhasilan siswa di tingkat sekolah, UN telah melalui banyak fase perubahan, hingga sempat dihapus beberapa tahun terakhir. Namun, belakangan muncul gagasan untuk mengembalikan UN, dan seperti biasa, perdebatan tentang manfaat serta dampaknya dari sudut pandang psikologis dan akademik kembali muncul ke permukaan. Apakah UN masih relevan? Atau malah menjadi beban yang merusak?
Mari kita tinjau ulang, dengan gaya santai namun berbobot, bagaimana UN memengaruhi para siswa—baik secara mental maupun akademik—serta apa yang mungkin perlu dipertimbangkan dalam kebijakan pendidikan ke depannya.
Stres dan Kecemasan: Harga Psikologis yang Harus Dibayar
Jika ada satu hal yang hampir semua siswa setuju, itu adalah bahwa UN bukan hanya tentang soal-soal di atas kertas, melainkan juga tentang tekanan mental yang luar biasa. Bayangkan, masa depan akademik seseorang bisa ditentukan oleh hasil ujian selama beberapa hari saja. Berdasarkan studi dari Lembaga Psikologi Pendidikan Indonesia pada 2020, 7 dari 10 siswa mengaku merasakan kecemasan berlebih menjelang UN. Mereka merasa bahwa kegagalan dalam UN berarti kegagalan dalam hidup, sebuah tekanan yang tentunya terlalu berat untuk usia remaja.
Kecemasan ini, dikenal dengan istilah test anxiety, adalah masalah nyata. Data dari American Psychological Association (APA) menyebutkan bahwa siswa yang mengalami kecemasan tinggi sebelum ujian cenderung tidak mampu menampilkan performa maksimal. Alih-alih fokus pada soal, mereka lebih sibuk memikirkan kegagalan. Hasil survei yang dilakukan pada 2021 di beberapa sekolah menengah di Jakarta juga menunjukkan hasil serupa, di mana sekitar 60% siswa menyatakan bahwa mereka lebih fokus pada ketakutan akan gagal daripada belajar dengan efektif.
Lalu, bagaimana dampak jangka panjangnya? Menurut Dr. Ika Prasetyani, seorang psikolog pendidikan dari Universitas Gadjah Mada, siswa yang terus-menerus mengalami tekanan tinggi selama masa sekolah cenderung memiliki risiko lebih besar mengalami gangguan kecemasan, depresi, dan bahkan kehilangan motivasi belajar. Jadi, jika UN kembali diterapkan tanpa strategi mitigasi stres yang memadai, kita bisa melihat gelombang siswa yang lebih mementingkan “lulus” daripada benar-benar belajar.
Apakah Ujian Nasional Meningkatkan Prestasi?
Dari sisi akademik, UN memang memiliki tujuan yang jelas: memberikan standar penilaian yang sama bagi seluruh siswa di Indonesia. Secara teori, ini bisa membantu meningkatkan kualitas pendidikan karena ada parameter yang jelas untuk diukur. Namun, apakah ini benar-benar berdampak positif pada prestasi siswa?
Data dari Kementerian Pendidikan pada 2018 menunjukkan adanya peningkatan nilai rata-rata UN di beberapa wilayah, terutama di Jawa dan Bali, setelah pelaksanaan program bimbingan intensif menjelang UN. Tetapi, peningkatan ini sering kali bersifat kosmetik. Banyak sekolah yang mengandalkan metode drilling, yakni mempersiapkan siswa hanya untuk lulus ujian, bukan untuk memahami materi secara mendalam.
Di sini letak masalahnya. Ujian nasional cenderung fokus pada hasil akhir, bukan proses belajar itu sendiri. Akibatnya, banyak siswa yang hanya “belajar untuk ujian”, bukan untuk memupuk pengetahuan yang berkelanjutan. Bahkan, guru pun sering kali terjebak dalam pola ini. Ketika tujuan utamanya adalah nilai UN yang tinggi, metode pengajaran yang lebih kreatif dan eksploratif menjadi terabaikan. Prof. Haryono, seorang ahli pendidikan dari Universitas Negeri Malang, menyebutkan dalam artikelnya di Jurnal Pendidikan Nasional bahwa pola ini bisa mengurangi kemampuan siswa dalam berpikir kritis, kreatif, dan analitis—kompetensi yang seharusnya menjadi inti dari pendidikan abad ke-21.
Tantangan Pendidikan Holistik
UN sebagai alat evaluasi memang efektif jika tujuannya hanya untuk mengukur kemampuan akademik tertentu. Namun, pendidikan yang ideal harus lebih dari sekadar angka di atas kertas. Sistem pendidikan modern perlu mengintegrasikan penilaian holistik yang mencakup aspek-aspek lain, seperti kemampuan sosial, emosional, dan keterampilan hidup.