Siapa yang tak kenal freeport, pengeruk ladang emas di tanah papua. Freeport menjadi primadona negara adidaya, namun menjadi petaka bumi cenderawasih. Entah sudah berapa emas yang telah dikapalkan dan dibawa ke bumi Paman Sam, sedangkan pribumi tetap saja terbelakang dengan menggenggam koteka sebagai pakaian adatnya. Konon, tertancapnya mesin pengeruk dengan label Freeport di bumi cenderawasih adalah merupakan sebuah hadiah, hadiah yang diberikan oleh Soeharto kepada Amerika sebagai rasa terimakasih atas bantuannya dalam memperoleh tampuk kekuasaan sebagai orang nomor satu di Republik tercinta ini. Kenapa disebut sebagai hadiah? Kekayaan alam Indonesia berupa tambang emas telah dikuras habis-habisan oleh mesin mereka, namun berapa yang didapat oleh Indonesia?
Indonesia hanya mendapatkan royalti sebesar 1% dari total pendapatan Free port. Bagaimana ini bisa terjadi, sedangkan jelas-jelas Freeport mengeruk ladang yang telah sah menjadi hak milik Indonesia. Ibarat kata, ketika Freeport mendapatkan 1 ton emas, maka Indonesia hanya memperoleh bagian sebesar 10 Kg, miris sekali. Lalu bagaimana itu semua bisa berjalan dengan sangat mulus dan aman hingga puluhan tahun? Sejak jaman penjajahan, penghianatan sudah menjadi tabiat golongan tertentu, hal tersebut dilakukan tentu demi memenuhi hasrat pribadi, entah untuk mendapat potongan roti sisa kompeni atau sekedar agar selamat. Begitu juga dengan kasus freeport baru-baru ini, kisahnya juga tak jauh berbeda, demi memenuhi hasrat untuk memenuhi ambisinya maka kepentingan bangsa dan negara pun akan dipertaruhkan.
Lalu siapakah kira-kira yang melakukan penghianatan tersebut? Semua mata pasti menyorot nama pimpinan DPR saat ini, Setya Novanto. Karena memang nama itulah yang disebut- sebut telah mencatut nama Presiden RI Joko Widodo untuk meminta 11% saham freeport. Banyak pihak telah menyerukan agar Setya Novanto mengundurkan diri sebagai pimpinan tertinggi DPR RI, namun kasus tersebut masih digodok oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Lepas dari itu semua, pada dasarnya nama-nama yang disebut pada paragraf sebelumnya hanyalah sebagai wayangnya saja, ada dalang yang bertugas memainkan semua sekenarionya. Lalu sebenarnya siapa dalang dibalik kasus yang menghebohkan negeri tersebut? kalau pertanyaan tersebut dijawab dengan jawaban dalangnya adalah si politikus A atau pejabat B, sudah barang tentu bukanlah sebuah jawaban yang baru, karena sudah sangat banyak sekali tulisan-tulisan yang membahas dan menjelaskan secara runut.
Oleh karena itu, pertama, ijinkan saya mengkategorikan kasus ‘papa minta saham’ tersebut sebagai bagian dari korupsi, karena dalam kasus terebut terdapat sebuah tindakan memanfaatkan fasilitas negara demi kepentingan pribadi. Kedua, Berdasarkan hasil survey yang pernah dilakukan oleh lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa uang korupsi yang dihasilkan oleh koruptor pria sebagian besar tidak dibawa kerumah untuk istrinya, menurut komisioner nonaktif KPK, Bambang Widjojanto, bukanlah para istri yang menikmati hasil korupsi, melainkan para wanita idaman lain (WIL) lah yang menikmatinya. Ketiga, lagi-lagi kasus prostitusi online kembali mencuat, berawal dari terbunuhnya Tata Chuby, seorang pekerja seks komersial (PSK) yang menjajakan dirinya lewat akun twitter terbunuh secara mengenaskan di kamar kosnya.
Dan yang paling terbaru adalah tertangkapnya dua wanita dikamar hotel beserta germonya, tak tanggung-tanggung mereka adalah artis papan atas tanah air. Nama Nikita Mirzani dan Puty Revita (finalis Putri Indonesia 2014) mendadak heboh, keduanya kedapatan ditangkap polisi dalam kasus prostitusi online. Hari ini, sabtu 12 Desember 2015, Jawa Pos memuat judul “Diorder Direkur sampai Banker”, Moamar Emka pun tak tinggal diam, menurutnya kalau mau dicari jumlah artis yang nyambi sex for sale jumlahnya mencapai ratusan. Masih bersumber dari koran Jawa Pos, tarif yang dibanderol untuk bisa mengencani para artis papan atas tersebut tidaklah murah, Amel Alvi (Rp. 60 juta), Tyas Mirasih (Rp. 25 juta), Shinta Bachir (Rp. 40 juta), Anggita Sari (Rp. 10 juta), Nikita Mirzani (Rp. 65 juta), dan Puty Revita (Rp. 50 juta).
Bukanlah orang sembarangan yang bisa membayar dan merelakan uang sebegitu banyaknya hanya untuk kencan beberapa jam saja. Tentu kalangan kelas, berkantong tebal dan tentu beriman tipislah yang mau menggelontorkan uang mereka. Maka, ketika tiga variabel di atas ditarik sebuah kesimpulan akan menemukan sebuah titik temu bahwasanya, prostitusi kelas wahid dengan harga selangit adalah menjadi salah satu faktor kenapa perilaku korupsi pejabat di Indonesia semakin membabi buta.
Kalau mau bekerja secara jujur mungkin pejabat kelas atas pun akan mikir seribu kali menggelontorkan uang 60 juta hanya untuk beberapa jam saja, lalu bagaimana caranya agar tidak perlu mikir seribu kali? Ya menghalalkan segala cara untuk bisa meraup untung sebesar-besarnya demi kesenangan pribadi. Lalu siapakah dalang sebenarnya dibalik kasus ‘papa minta saham?’ yang jelas Setya Novanto masih menikmati empuknya kursi di DPR. Tak apa jabatan ketua DPR hilang, jabatan baru sebagai ketua frakasi Golkar di DPR telah menanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H