"Bikin malu saja. Ngomong apa saja pasti jadi guyonan warga. Itu akan menurunkan wibawa kita di masyarakat." Pak Kepala Desa bersungut-sungut sambil membanting kopiahnya di atas meja. Sementara semua tim sukses dan penasihat spiritualnya diam saja.
"Sekdes cuman menang ganteng saja, tapi otaknya tidak sampai pepek!" Kali ini Pak Kepala Desa berbicara dengan nada tinggi. Orang-orang di sekitarnya masih tetap diam dan tidak bersuara.
"Bagaimana caranya agar sekdes kita tidak salah ucap terus?" Tanya Kepala Desa kepada penasihatnya. Nada suaranya menggambarkan perasaan frustasinya.
"Apa perlu saya pesankan kopi Jessika, Pak?" Tanya si penasihat.
"Welah dalah... Saya cuman mau membuat dia tidak bicara, bukan membuatnya diam selamanya."
"Itu bisa diatur dosisnya. Kalau cuman setengah gelas, hanya akan membuat Pak Sekdes gagu dan tidak bisa bicara selama 5 tahun," jawab si Penasihat mencoba meyakinkan.
Keesokan harinya, Pak Kepala Desa mengundang semua perangkat desa untuk acara Coffe Morning ala pejabat kota. Acara itu membuat macet jalanan desa karena semua kuda dan gerobak mereka diparkir di pinggir jalan desa.
"Bapak-bapak dan ibu-ibu yang saya hormati. Kita...." terdengar lamat-lamat Kepala Desa sedang berpidato. Sementara si penasihat sedang menyiapkan kopi Jessika untuk disuguhkan kepada Sekdes sesuai pesanan Kepala Desa.
"Ingat... Cuman separuh saja.... Cuman separuh...," kata si penasihat kepada dirinya sendiri.
"Ayo silahkan Bapak Ibu sekalian. Silahkan diminum," kata Kepala Desa sambil melirik ke Sekdesnya yang sedang tebar pesona dan mulai terbatuk-batuk saat meminum kopi yang disiapkan Si Penasihat.
"Bagaimana Pak Sekdes. Sudah lari berapa kilometer hari ini? Jangan bikin macet jalanan desa gara-gara lari-lari ke balai desa ya."