Sabtu ini (4/1) saat baru saja siesta (baca: bangun tidur siang dalam Budaya Spanyol), saya membuka fesbuk dan bertemu dengan status fesbuk Mas Teguh yang membahas perpindahan dan penyebaran PSK eks-Dolly ke berbagai daerah lain di Jawa Timur. (Alumni dolly pindah tempat mangkal). Setelah berkomentar, sayapun meluncur ke tulisan Mas Teguh tersebut. Setelah membaca artikel tersebut, sayapun meninggalkan komentar opini saya yang kemudian ditanggapi oleh Mbak Mou Soul yang memang lucu, karena mengangkat saya sebagai pakar per-Dolly-an. Jadi, tulisan ini saya dedikasikan sebagai penghormatan atas pengukuhan tersebut. Anggap saja tulisan ini sebagai Orasi ora-Ilmiah, sebagai syarat dalam pengukuhan pakar tersebut. Hehehe.... Seperti yang diberitakan oleh beberapa media, langkah penutupan kompleks pelacuran Dolly oleh Ibu Walikota Tri Rismaharini ternyata berdampak pada migrasinya eks penghuni Dolly ke berbagai tempat pelacuran di luar Surabaya seperti Gresik, Kediri dan Malang. Bahkan JPNN memberitakan kalau para PSK eks Dolly ini memiliki 'nilai jual' lebih tinggi daripada PSK lokal di Malang (Baca: Mulai Eksodus, Eks PSK Dolly Jadi Primadona di Malang). Niat dan tekad Pemkot Surabaya yang didukung DPRD Kota Surabaya dan pemprov Jatim sudah bulat untuk menutup lokalisasi Dolly dan beberapa tempat pelacuran tersebut. Bahkan Pemkot sudah menganggarkan 25 Milyar rupiah untuk menormalisasi area-area eks lokalisasi, di samping membuat program kerja untuk merehabilitasi dan membekali PSK yang akan kembali ke masyrakat dengan memberikan keterampilan berusaha. Penutupan berbagai lokalisasipun bukannya tidak mendapatkan hambatan. Pada 10 Nopember 2013 lalu, penghuni Dolly melakukan upacara bendera sebagai reaksi menentang penutupan Dolly. Beberapa PSK sampai harus berlatih menjadi Paskibraka alias pasukan pengibar bendera merah putih pada upacara tersebut. [caption id="attachment_303814" align="aligncenter" width="500" caption="Upacara bendera ala PSK Dolly - beritajatim.org"]
[/caption] Pro kontra penutupan lokalisasi memang tidak bisa dihindari. Masing-masing pihak memiliki alasan yang logis. Para penentang penutupan lokalisasi berdalih, bahwa dengan tidak adanya lokalisasi, maka akan menyulitkan pemantauan penyebaran penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS. Lokalisasi dianggap lebih memudahkan untuk memonitoring dan mengedukasi mereka yang rentan menjadi penyebar dan tertular virus yang mematikan tersebut. Sedangkan tanpa adanya lokalisasi, PSK akan meluber dan berkeliaran di jalan-jalan. Namun, saya termasuk 'pakar' yang merekomendasikan penutupan lokalisasi pelacuran tersebut. Ada banyak alasan yang masuk akal dan yang tidak masuk akal yang bisa saya berikan kepada Anda. Berikut saya paparkan beberapa fakta sebagai berikut:
- Ada tidak adanya lokalisasi tetap akan sulit memantau penyeberan penyakit menular seksual. Teknologi informasi telah mengubah model transaksi antara pembeli dan penjual jasa. PSK tidak perlu lagi tinggal di wisma dan mejeng di aquarium. Mereka cukup meembuka akun facebook, BB dan twitter dengan memasang foto profil yang terbaik. Pelanggan cukup melihat dan negosiasi harga melalui media komunikasi. Bila terjadi kesepakatan, PSK tersebut tinggal meluncur ke lokasi seperti hotel atau losmen tempat penginap calon pelanggan. Tahun 2013, saya pernah menuliskan hal ini dengan judul Mengapa Tempat Pelacuran Dolly Bisa Sepi? dan tahun 2011, saya sudah memprediksinya di tulisan Dolly, Tempat Pelacuran yang Mulai Sepi.
- Apakah setelah adanya lokalisasi dijamin PSK tersebut tidak berkeliaran di jalan-jalan? Kata siapa? Saat Dolly, Jarak, Bangun Rejo, Kembang Kuning dan beberapa kantong-kantong PSK lainnya sedang berjaya. Banyak PSK yang berkeliaran di jalan-jalan. Biasanya mereka adalah eks penghuni wisma yang sudah mulai tidak laku karena usia. Dengan kata lain, mereka yang 'terbuang' dari wisma-wisma di lokalisasi, akhirnya memilih menjadi freelancer alias bekerja tampa 'mami'. Jangan heran bila kemudian jalan-jalan protokol seperti Jalan Diponegoro, Kompleks Pemakaman Kembang Kuning, Dupak dan rel kereta api Wonokromo, menjadi tempat mangkal para PSK. Nama-nama tempat mangkal tersebut sudah menunjukkan kelas dan tarif PSK. Sedangkan Gubeng viaduk, Irba atau Jalan Irian Barat dan Bunderan Waru, menjadi tempat mangkal para banci salon yang melayani 'sedot mas'.
- Sudah menjadi rahasia umum bila hotel-hotel kelas melati dan beberapa wisma di seputar Surabaya, menjadi tempat check-in PSK dan pelanggannya. PSK-PSK ini bisa saja menggunakan jasa mami dan penghubung untuk mendapatkan pelanggan. Para pegawai hotel sudah biasa menjadi makelar yang menjadi penghubung saat seorang tamu membutuhkan layanan ini. PSK-nya bisa di dapat dari salon dan SPA plus-plus, pijat plus-plus, ayam kampus, ayam putih abu-abu, buruh pabrik, hingga ibu rumah tangga yang akan di antar suaminya saat ada order dari pelanggan. Belum lagi PSK belia yang dulu sering mangkal di sekitar monumen Bambu Runcing atau jalan Panglima Sudirman (pangsud), membuat Surabaya seolah-olah benar-benar seperti kota tujuan wisata seksual karena mereka mangkal di seantero jalan protokol. Jika tidak dibatasi, niscaya Surabaya akan benar-benar menjadi kota prostitusi. Bayangkan, dari Pelabuhan Tanjung Perak, lapangan sebelah Rumah Sakit PHC, Jembatan Merah, Dupak, Palemboom, Jarak, Panglima Sudirman, Kenjeran, A. Yani, Kembang Kuning, Dukuh Kupang, dan masih banyak tempat lain yang kalau saya sebutkan akan merata di seantero Surabaya.
- Faktanya, PSK Dolly tidak berasal dari Surabaya. Mereka datang ke Surabaya dari berbagai wilayah di Jawa Timur seperti daerah Malang Selatan, Trenggalek, Kediri, Nganjuk, Blitar dan daerah-daerah minus lainnya. Surabaya seperti sebuah lampu yang menarik laron-laron untuk datang dan mengorbankan dirinya. PSK tersebut lebih memilih ke Surabaya karena tarif di PSK di Surabaya yang pasti lebih tinggi daripada di daerah.
- Apa penyebab mereka menjadi PSK? Hal ini yang penting untuk dijawab. Hal yang pertama adalah masalah kemiskinan. Seperti yang saya sempaikan di atas, PSK banyak berasal dari daerah-daerah yang rawan kemiskinan. Saat terjadi krisis moneter tahun 1997-1998, banyak buruh yang terkena PHK, akhirnya terjun ke jalanan menjadi PSK. Kediri dengan industri rokoknya saat itu diberitakan banyak sekali PSK kagetan akibat PHK massal. Bahkan seorang PSK sampai diantar suaminya sendiri saat harus 'praktek' di jalanan.
- Motif ekonomi bukan satu-satunya penyebab seorang wanita terjun ke dunia prostitusi. Penyebab lain yang cukup dominan adalah adanya kasus trafficking atau perdagangan manusia. Para talent scooter dipekerjakan oleh para mami pemilik wisma pelacuran, untuk mencari tenaga-tenaga muda untuk menjadi daya tarik (anchor) yang menjual di wisma tersebut. Celakanya, para kembang wisma ini adalah gadis-gadis belia di bawah umur. Entah karena alasan gaya hidup hedonisme untuk mendapatkan uang mudah dan banyak. Sebagian lagi 'dijual' ke wisma di Dolly karena dijebak oleh 'pacar' yang sebelumnya sengaja menodai si gadis. (Baca: ingin wismanya ramai gadis di bawah umur dijual di dolly, berniat mencari pekerjaan 3 orang gadis dijual ke dolly, dan jual pacar ke dolly pemuda sampang di tahan). Terminal Bungurasih, bukanlah tempat yang ramah bagi para gadis yang berjalan sendirian. Para 'penjual wanita' banyak berkeliaran di sana dan siap memperdaya gadis desa yang lugu dan tidak tahu jalan Surabaya. Saat seorang gadis terlihat bingung, akan ada orang-orang yang 'siap membantu' dan pada akhirnya malah dijual ke Wisma Dolly. Kalau sudah masuk ke Wisma, alamat tidak akan bisa keluar begitu saja, karena semua penghasilannya dari 'melayani', akan habis untuk membayar hutang kepada si mami wisma.
- Seorang wanita PSK yang saya temui saat saya masih kuliah dulu (saya akan tuliskan dalam kisah yang berbeda), dia mengaku menjadi PSK karena keperawanannya direnggut pacarnya di motel Kenjeran, dan akhirnya terjebak ke dunia prostitusi.
- Saya tidak pernah menemukan ada Wisma pelacuran yang membuat iklan lowongan, "Dicari seorang wanita untuk dipekerjakan sebagai PSK Profesional di Dolly". Yang ada justru adalah trafficking atau perdangan manusia. Apakah ini yang akan Anda pertahankan? Baca: tentang proses rekruitment ayam kampus pernah saya tuliskan dalam bentuk kisah fiksi di Allysa si ayam kampus bagian 7 tamat. Walaupun fiksi, namun kisahnya diambil dari fakta rekruitment yang saya ketahui di kampus.
Bila lokalisasi dianggap sebagai solusi dari masalah penyeberan pelacuran di jalan-jalan dan penyebaran penyakit seksual menular lainnya, saya kira tidak sepenuhnya efektif. Ada tidak adanya lokalisasi, akan tetap membuat PSK menyebar di seantero kota bila Pemerintah tidak membatasi pusat-pusat hiburan, hotel dan wisma mesum, jalan-jalan protokol yang remang-remang dan penyalahgunaan ijin salon, spa dan panti pijat agar tidak menjadi tempat plus-plus. Sementara itu, pemerintah pusat dan daerah harus mensejahterakan daerah-daerah di sekitar Surabaya, agar mereka tidak lari ke Surabaya untuk mengadu nasib dan pada akhirnya justru terdampar sebagai PSK di Surabaya. Peningkatan taraf pendidikan dan keterampilan juga menjadi solusi agar tidak banyak wanita dan pria yang terjebak ke dunia prostitusi karena alasan ekonomi. Selain itu, pemerintah dan aparat keamanan, terus mengawasi agar jangan sampai ada wanita dan anak-anak yang menjadi korban trafficking. Demikian pendapat saya sebagai pakar per-dolly-an sebagai orasi ora ilmiah saya. Terimakasih kepada Anda yang telah membaca tulisan ini dan mendiskuiskannya secara sopan. Tulisan tentang Surabaya dan PSK
- http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/12/15/aduh-ike-dikejar-banci-bok-421723.html
- http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2013/10/14/mengapa-tempat-pelacuran-dolly-bisa-sepi-601435.html
- http://hiburan.kompasiana.com/humor/2012/10/12/humor-serius-penunjuk-jalan-ke-dolly-500795.html
- http://regional.kompasiana.com/2011/12/15/dolly-tempat-pelacuran-yang-mulai-sepi-421654.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H