Tanya-jawab merupakan sesi yang saya tunggu-tunggu saat setelah A. Fuadi -- penulis novel Negeri 5 Menara (N5M) mengakhiri sesi presentasinya. Pasalnya saya sudah memiliki beberapa pertanyaan yang muncul setelah menonton film yang diangkat dari novelnya tersebut. Review filmnya sudah saya tuliskan minggu lalu dengan judul Film Negeri 5 Menara Inspiratif, Namun Perlu Revisi. Sesaat setelah A. Fuadi tuntas menjawab penanya pertama Mas Hariyadi, sayapun langsung beranjak berdiri menuju microphone yang disediakn untuk penanya. Sebelumnya mengutarakan pertanyaan, saya menyampaikan kalau saya dan putra saya telah membaca 2 novel beliau 'Negeri 5 Menara' dan 'Ranah 3 Warna', dan juga telah menyaksikan tayangan filmnya. Kemudian saya menanyakan adanya adegan merokok dan corat-coret pada seragam sekolah untuk menandakan kelulusan. Adegan merokok tersebut menurut saya tidak baik karena tidak mendukung kampanye anti rokok. Sedangkan aksi corat-coret tersebut cukup disayangkan, karena baju seragam sekolah bisa disumbangkan pada orang lain. Lagipula sebenarnya adegan merokok dari Bapak Alif bisa diganti dengan aegan menulis atau membaca koran saat sedang berdiskusi dengan Ibu Alif. Sedangkan adegan corat-coret untuk menceritakan kelulusan bisa diganti dengan adegan melihat papan pengumuman kelulusan dan si pemeran sangat senang karena dinyatakan lulus. A. Fuadi mengawali jawaban dengan menceritakan betapa saat berbagai penawaran untuk memfilmkan N5M, membuat beliau dan istrinya begitu bingung antara mengijinkan untuk difilmkan atau tidak. Beliau dan istri tidak pernah berfikir bahwa novel N5M bisa begitu jauh sampai difilmkan. Akhirnya dengan mempertimbangkan asas kemanfaatan, novel N5M diijinkan untuk difilmkan. Menurut A. Fuadi, budaya menonton masyarakat kita jauh lebih kuat daripada budaya membaca. Bila hany adalam bentuk novel, paling hanya dibacaa 1 juta orang dari 230 juta penduduk Indonesia. Namun bila dalam bentuk film, pesan semangat yang ingin disampaikan dari 'Man Jadda Wajada' ini bisa lebih luas pada banyak orang, hanya dengan duduk menyaksikan film dalam 2 jam. Berbeda dengan membaca novel yang membutuhkan waktu berhari-hari. [caption id="attachment_169281" align="aligncenter" width="600" caption="A. Fuadi saat menjelaskan konsep "][/caption]
Ketika sebuah novel disetujui untuk difilmkan, maka sebenarnya penulis novel tidak memiliki kekuasaan penuh atas karya film tersebut. Karena itu mutlak dalam penguasaan orang-orang film. Kemudian beliau menyebutkan ada 3 proses bagaimana sebuah novel difilmkan. Yang pertama novel dituliskan dalam format skenario film. Kedua skenario diterjemahkan menjadi adegan dalam proses pengambilan gambar. Dan yang ketiga, adanya proses editing film di studi dari semua adegan yang telah diambil di lokasi. Begitu panjangnya proses sebuah novel menjadi film sehingga sangat mungkin filmnya tidak akan sama dengan novelnya. Bahkan tidak semua isi novel dapat dimasukkan ke dalam film mengingat keterbatasan waktu dalam film. Menurut beliau, jika ingin panjang ya dibuat dalam sinetron yang berseri-seri ala Tersanjung 1, tersanjung 2, dan seterusnya. :) A. Fuadi sendiri terlibat dalam pembuatan film N5M, mulai dari penulisan skenario, penagambilan gambar hingga proses editing. Namun tentu saja penulis tidak berkuasa penuh, karena itu wilayah kekuasaan sutradara film. Di skenario, adegan meroko tersebut tidak ada, namun saat pengambilan gambar dan kebetulan beliau tidak bisa mendampingi terus, ternyata adegan merokok tersebut diambil cukup panjang. Yang ditampilkan di film itu sudah dipotong habis-habisan, walau masih tetap durasi asap rokoknya memenuhi sekian detik dari tampilan film. Dalam hal ini beliau mengaku 'kecolongan' dengan adegan merokok tersebut. Memang cukup banyak pembaca novel yang kecewa saat menonton film, karena di film alur ceritanya tidak sekuat di novel. Beliau menegaskan bahwa karya film tidak bisa dibandingkan dengan novel. Ibarat novel itu jeruk dan film itu apel, jadi tidak bisa membandingkan apel dan jeruk. Namun esensi antara apel dan jeruk sama, yaitu sama-sama mengandung vitamin. Demikian juga dengan film dan novel N5M. Keduanya sama-sama menyampaikan pesan dan semangat 'Man Jadda Wajada'. Demikian jawaban dari A. Fuadi atas pertanyaan saya. Dari jawaban tersebut, saya bisa lebih memahami posisi seorang penulis ketika sebuah karya tulisnya difilmkan dan proses pembuatannya yang ternyata cukup komplek karena melibatkan banyak orang dan pekerjaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H