Lihat ke Halaman Asli

Choiron

TERVERIFIKASI

Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Apa yang Salah dengan Surat Dirjen DIKTI No.152/E/T/2012

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Surat Dirjen DIKTI No. No.152/E/T/2012 dengan perihal Publikasi Karya Ilmiah sebenarnya sebuah surat singkat biasa. Namun menjadi tidak biasa bila gaya bahasa dan pemilihan kalimat yang kurang tepat. Hakikat surat tersebut sangat baik, menginstruksikan kepada PT (Perguruan Tinggi) untuk memasukkan syarat kelulusan S1, S2, dan S3 dengan publikasi karya ilmiah pada jurnal ilmiah. Namun sebuah kalimat pembuka yang  buruk yang berbunyi

Sebagaimana kita ketahui bahwa pada saat sekarang ini jumlah karya ilmiah dari Perguruan Tinggi Indonesia secara total masih rendah dibandingkan dengan Malaysia, hanya sekitar sepertujuh.

Kalimat pembuka tersebut cukup merusak pesan yang ingin disampaikan dan menjadi hakikat dari instruksi tersebut. Ada baiknya si pembuat surat atau konseptor surat untuk belajar lebih baik lagi bagaimana membuat surat yang mempertimbangkan nilai rasa dalam berbahasa, dan juga belajar betapa bangsa kita ini begitu sensitif dengan kata 'Malaysia'. Instruksi yang Baik Hakikat dari instruksi tersebut sebenarnya sangat baik. Saya mendukung 1000%. Memang budaya menyebarkan karya ilmiah di perguruan tinggi di Indonesia boleh dikata masih rendah. Padahal hampir setiap sarjana S1, S2, dan S3 pasti membuat penelitian baik berupa skripsi, tesis dan desertasi. Selama ini hasil penelitian tersebut ditulis sendiri, dicetak sendiri, dibaca sendiri, disimpan sedniri dan tertawa sendiri. Paling mungkin jumlah buku skripsi disimpan di jurusan atau di perpustakaan kampus. Sehingga akses hasil penelitian atau karya tulis ilmiah tersebut masih terbatas di era yang serba digital ini. Jadi memang sudah seharusnya bila karya tulis ilmiah yang ada di kampus itu dapat dipublikasikan dengan baik melalui jurnal ilmiah baik hardcopy maupun softcopy atau online. Apa Susahnya Buat Jurnal Ilmiah? Membuat jurnal ilmiah itu mudah bahkan saat ini sangat mudah. Jika pada era sebelum adanya internet, pengelola jurnal harus ke Jakarta untuk melakukan registrasi ke PDII LIPI (Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah - Lembaga Ilmi Pengetahuan Indonesia) untuk mendapatkan ISSN  (International Standard Serial Number) atau Standar Internasional Nomor Majalah, namun saat ini perguruan tinggi yang ada di seluruh Indonesia bisa melakukan registrasi secara online. LIPI menyediakan portal registrasi ISSN yang dapat diakses 24 jam dalam sehari 7 hari dalam seminggu dan sepanjang tahun tidak pernah tutup. Tidak ada alasan karena kampusnya di luar daerah atau di ujung gunung. Selama bisa akses internet, maka hanya dalam hitungan hari, ISSN untuk jurnal ilmiah sudah bisa dikeluarkan. Biayanya juga cukup murah, hanya Rp. 200.ooo (dua ratus ribu rupiah) yang dapat ditransfer via bank. Tidak lebih dari seharga pulsa pak rektor 1 bulan ya. Oh ya, semua syarat juga bisa dikirimkan via email kok. Syarat baca di http://issn.lipi.go.id/. Aturan publikasi jurnal ilmiah atau proceeding seminar nasional sebenarnya sudah berlaku di perguruan tinggi negeri seperti ITS. Saat kami menginjak pada tahapan tesis, kami diwajibkan untuk mengikuti seminar nasional sebagai pemakalah. Bayarnya sekitar Rp.200ribu saja, dan makalah ilmiah kami sudah tercantum di Proceeding yang memiliki ISSN. Kata pembimbing saya, setiap karya ilmiah harus dipublikasikan agar dapat dikoreksi bersama-sama oleh seluruh dunia ilmiah untuk menguji plagiarisme dalam dunia ilmiah. Hasil penelitian tersebut juga bisa menjadi rujukan bagi penelitian berikutnya, agar terjadi kesinambungan penelitian. Jangan sampai beberapa kampus meneliti hal yang sama sehingga seperti menemukan roda 2 kali. Selain itu agar penelitian tersebut Apa masalahnya? Ya, masalahnya adalah pada perguruan tinggi kita sendiri. Seberapa besar mereka memiliki kemauan untuk mendirikan tim pengelola jurnal dan membiayai operasionalnya. Ada banyak jurnal ilmiah yang berdiri lalu mati karena mengelola jurnal ilmiah (yang beluam terakreditasi) dianggap sebagai Cost Centre alias tidak menghasilkan uang. Padahal bila jurnal dikeloa dengan baik, hanya dalam waktu 3 tahun (6x terbit), sudah bisa mengajukan akreditasi. Jurnal terakreditasi biasa diburu oleh dosen yang mengajukan kum atau jabatan akademik dan mahasiswa pascasarjana sebagai syarat untuk wisuda. Bila membuat jurnal dalam versi cetak, memang dibutuhkan biaya cetak dan distribusi jurnal yang relatif besar. Bila biaya cetak per buku jurnal sekitar Rp.15.000, maka untuk 300 examplar sekitar Rp.4.5 juta. Jurnal dicetak setahun 2x sehingga anggaran setahun tidak lebih dari Rp.10 juta saja. Namun ada kewajiba pengelola jurnal untuk mengirimkan cetakan tersebut ke berbagai perpustakaan daerah, dan program studi kampus lain yang bersesuaian. Ini mungkin yang cukup besar. Total jendral, biayanya mengelola jurnal pertahun sekitar 15 juta rupiah. Nilai 15 juta rupiah itu sebanarnya setara dengan biaya berlangganan internet untuk kampus (dedicated line) untuk 1 bulan dengan kecepatan 2Mbps. Untuk menekan biaya cetak, maka perguruan tinggi bisa saja membuat jurnal penelitian versi online. Pendaftaran ISSN-nya sama di http://issn.lipi.go.id/. Hanya hasil penelitian berupa jurnal dipublikasikan melalu website. Bagaimana bila kampus Anda tidak punya website. hey Bung! membangun website itu mudah dan murah. Bila memang kampus tidak punya server khusus dan koneksi internet khusus (dedicated line), maka pihak kampus bisa menyewa web hosting. Membangun website kampus biayanya tidak lebih dari 2 juta. Itu sudah termasuk biaya registrasi domain name kampus misal kampus.ac.id di Pandi.or.id sebesar Rp. 50ribu/tahun dan biaya sewa hosting Rp.180ribu/tahun untuk 250MB. Nah, jurnal online tersbeut bisa menumpang sebagai subdomain di website kampus tersebut sehingga menjadi jurnal.kampus.ac.id. Bagaimana bila di daerah kami tidak ada internet? Loh memang Anda membaca tulisan ini dari planet mana? Saat ini ada banyak koneksi internet yang murah meriah. Saya setiap bulan hanya mengeluarkan biaya Rp. 45.000 dari mobile internet dengan modem seharga 200ribuan untuk mengelola blog saya ini. Bila kampus mengeluarkan biaya Rp.500.000 per bulan untuk akses internet, saya kira itu hal yang wajar sebagai bagian dari fasilitas kampus. Saat ini kampus berpromosi dengan embel-embel tesedia hostpsot area sudah bukan lagi barang aneh dan hebat. Internet di kampus itu suatu keharusan alias fardhu 'Ain yang tidak bisa diwakilkan ke warnet depan kampus atau kampus sebelahnya. Demikian pendapat saya, semoga bermanfaat. _______________ catatan penulis bersedia memberikan masukan bagi kampus yang ingin membangun website atau ingin membangun jurnal ilmiah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline