Lihat ke Halaman Asli

Choiron

TERVERIFIKASI

Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Wow, Sehari Bisa Laku 400 Bungkus

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1326972944224550499

"Wuih sambalnya mantab Mbak," itu kata pertama saya saat membuka pembicaraan dengan pemilik angkringan.

Hari ini (19/1) saya berangkat kerja agak siang. Eh enggak sih, yang benar sudah siang banget, sekitar jam 10. Pasalnya saya merasa harus membuat tulisan terkait modus penipuan yang sering mengatasnamakan Dikti. Idenyapun muncul karena membaca tulisan salah seorang Kompasianer yang kebetulan menjadi korban. Kisahnya bisa Anda baca di Penipuan Berkedok DIKTI. Seperti biasa saya melewati jalan A. Yani Surabaya. Namun saat melewati sebuah akringan yang biasanya cukup ramai, terbersit juga untuk berhenti dan mencicipi makanannya. Padahal tadi pagi saya  sudah sarapan, namun karena tadi sarapannya kepagian, akhirnya jadi lapar lagi. Ya sudahlah, akhirnya saya memutuskan untuk berhenti mampir. Walaupun sudah lama melihat angkringan ini, namun akhirnya baru kali ini saya bisa (baca: mau) mampir. Angkringan ini persis berada di pinggir jalan protokol. Seingat saya, angkringan ini dulu berada di trootoal depan bengkel resmi sebuah merek mobil terkenal. Rupanya sejak sebulan yang lalu, lokasinya bergeser sekitar 20 meter dan tidak lagi berada di trotoar karena menyewa sebidang tanah di depan sebuah bengkel motor. Setelah memarkir turonggo (bahasa Jawa artinya tunggangan), sayapun duduk di salah satu kursi yang disediakan. Tampak 5 orang pelanggan lain sedang menikmati hidangan angkringan. Penampilan mereka seperti pekerja kantor pada umumnya. Berikutnya sayapun menanyakan lauk apa saja yang ada dalam nasi yang dibungkus daun hijau. Si penjual menyebutkan beberapa jenis lauk, seperti daging, tongkol dan telur. Sayapun meminta sebungkus nasi dengan lauk telur. Ternyata untuk lauk telur ada 2 jenis, yaitu telur dadar atau telur bulat. Ya pasti saya memilih telur dadar yang pasti tampak lebih besar dan lebar daripada telur bundar.

13269730911517768845

Angkringan ini hanya menyediakan satu jenis minuman saja berupa es legen segar. Saya memesan segelas legen dingin dan segar tanpa es batu. Saat saya menyicipinya, wuih rasanya manis segar seperti soda alami. Es  legen memang selalu menjadi minuman tradisional favorit saya di samping ronde hangat. Tanpa basa-basi lagi, sayapun membuka bungkus nasi yang terbuat dari 100% daun pisang tanpa kertas pembungkus. Hebatnya juga nih angkirngan. Di kota sebesar Surabaya, daun pisang begitu langka di dapat, namun semua nasinya di bungkus rapi dan bagus dengan daun pisang. Maklum, jarang sekali penduduk kota yang menanam pohon pisang. Karena pohon pisang hanya berbuah sekali dan batang pohonnya susah di buang di tempat sampah. Hal ini berbeda dengan rumah nenek saya di desa, yang 'mewajibkan' menanam pohon pisang agar mudah mengambil daunnya untuk membuat pepes dan botok, disamping tentu saja buah pisang raja yang manis. Nasi bungkus tersebut berisi telur dadar, mie kuning dengan bumbu opor dan sambal. Setelah meratakan nasi yang cukup banyak di area hamparan daun pisang, saya mulai mencoba telur dadar, mie dan sambalnya. Ala mak... rasa sambal tomat yang dicampur sedikit terasi rasanya begitu indah dan seksi. Pedasnya tidak menyakitkan dan rasanya triple maknyus. Mungkin rasa sambalnya ini yang membuat pembelinya tidak pernah sepi untuk menikmati nasi bungkusnya. Saya melihat sebuah kotak kaca mirip akuarium yang di dalamnya berisi berbagai macam gorengan. Tahu isi, tempe menjes, tahu goreng dan ote-ote memenuhi isi akuarium ini. Tumpukan cabe hijau juga terselip di pojok kotak ajaib ini. Kemudian saya membuka tutupnya untuk mencoba salah satu dari hidangan tambahannya. Pilihan saya jatuh pada sepotong tempe menjes tepung yang digoreng agak kering. Rasanya menjadi pelengkap makan pagi menjelang siang tersebut. Tidak berapa lama, nasi bungkus, tempe menjes dan segelas legen dinginpun lengkap diunduh. Tampak tulisan di pelupuk mata "Donwload Completed", pertanda saya harus segera beranjak untuk pergi. Apalagi orang-orang datang dan pergi silih bergabti dengan cepatnya. Beberapa pembeli (asisten sopir angkutan) datang memborong beberapa nasi bungkus saat metromininya berhenti persis di depan angkringan tersebut. Terpikirkan juga untuk melakukan wawancara sebagai bahan menulis di Kompasiana. Namun muncul perasaan malu dan takut. Malu karena tidak terbiasa menjadi reporter dan dilihat oleh pembeli lainnya. Sedangkan perasaan takut bila kemudian si pemilik menanyakan, "Sampean itu siapa kok nanyak-nanyak kayak wartawan." Tentu saja saya tidak bisa mengaku sebagai wartawan Kompasiana dan bilang kalau Kompasiana itu adik bungsunya Kompas. Bisa-bisa saya lebih malu lagi pada diri sendiri dan Admin Kompasiana yang memiliki indra keenam. Akhirnya saya memutuskan untuk memulai pembicaraan dengan memberi komentar pada masakannya. "Wuih sambalnya mantab Mbak," komentar saya untuk membuka pembicaraan sambil mengeluarkan uang dari dompet. Si mbak pemilik angkringan hanya tersenyum saja mendengar pujian saya. "Berapa Pak semuanya? Tadi saya makan nasi bungkus, es legen ditambah gorengan satu," kata saya kepada Bapak penjualnya. Tanpa perlu kalkulator apalagi komputer cash register ala kasir, si bapak menyebutkan jumlah yang harus saya bayar. Dia bilang, "lima ribu lima ratus, Mas." Setelah menyodorkan uang, sayapun melanjutkan dengan bertanya, "Berapa habisnya nasi bungkusnya per hari?" Si Bapak penjual menjawab tidak tentu katanya. Namun dalam 1 hari mereka bisa menghabiskan 400 nasi bungkus  dan puluhan liter es legen. Beberapa pertanyaan lain saya utarakan dengan gaya wajar agar tidak tampak seperti wartawan gadungan. Thanks God, ternyata Si bapak yang punya nama asli Mahid ini orangnya begitu ramah dan nyaman untuk diajak berdialog. Beliau berasal dari Lamongan Jawa Timur. Senyumnya mengembang saat menjawab pertanyaan saya. Si Mbak yang ternyata istrinya sempat nyeletuk kalau Pak Mahid ini punya nama alias yaitu Acong. "Loh, itukan nama mirip Tionghoa," sergah saya. "Ghak tahu Mas, yang ngasih nama itu yang para pelanggan saya, yang penting mereka bisa akrab dengan saya" jawab Pak Mahid dengan bangga. Menurut Pak Mahid, nasi bungkus tersebut mereka buat sendiri. Nasi bungkusnya selalu hangat dan cepat terjual habis. Banyak karywan kantoran dan pabrik yang berada di sekitar jalan A. Yani yang menjadi pelanggan tetapnya. Bukan hanya karena murahnya, namun karena rasanya yang enak dan porsinya cukup banyak. Hanya dengan 5 ribu rupiah, mereka bisa meinkmati sebungkus nasi dengan lauk telor atau daging + sambal lesatnya dan segelas legen segar. Mereka juga berjualan dari jam 8.30 pagi hingga 5 sore. Sedangkan legennya berasal dari Tuban yang memang terkenal dengan legen dan tuak (minumal tradisional yang memabukkan hasil fermentasi dari legen). Bila sehari Pak Mahid bisa laku 400 bungkus yang harga per bungkusnya 4 ribu rupiah, maka sehari berarti omset angkringannya lebih dari 1,6 juta/hari hanya dari nasi bungkus. Belum hitungan untuk legen dan gorengannya. Keuntungan bersih per hari bisa mencapai 800 ribu rupiah. Sehingga  Pak Mahid bisa mengantongi penghasilan lebih dari 16/bulan juta? Wow fantastis bukan? Jangan remehkan bisnis angkringan. Angkringan memang bisnis yang menjanjikan bagi mereka yang mau membuka usaha makanan. Ayo, siapa mau buka bisnis angkringan?



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline