Pukul 18.00 setelah sholat maghrib berjemaah di masjid di depan Penginapan Family Nur, kami bertiga (the three must be kentir - saya, hengki, syaiful) akhirnya berangkat juga untuk bertolak pulang ke Surabaya. Sepanjang jalan seperti gerombolan "remaja" yang menginjak "tua" karena sudah mulai banyak uban yang tumbuh di kepala, kami bercanda dan saling ejek satu sama lain seperti biasanya. Materi bahasannya tidak jauh dari menertawakan diri sendiri, hingga kelucuan setiap peristiwa selama 3 hari di Kota Sumenep -- kota kabupaten paling timur pulau Madura. Berikutnya, hal yang pertama selepas keluar dari kota Sumenep adalah usaha untuk mengisi perut kami bertiga yang ternyata kompak juga menyuarakan lagu "keroncongan" yang keluar dari lubuk hati (baca: perut) yang paling dalam. Akhirnya syaiful sebagai ketua rombongan memutuskan untuk mencari makan di sekitar Bluto dan berpesan untuk berhenti sejenak membeli oleh-oleh khas Sumenep di daerah Prenduan yang terkenal dengan lorjuk - sejenis kerang lonjong, dan rengginang sejenis krupuk kering gurih yang diberi campuran lorjuk. Sepanjang jalan kami melihat ke kiri dan ke kanan untuk mencari warung makan yang ternyata sering terlewatkan. Namun akhirnya sebelum masuk wilayah Prenduan, ada daerah pinggir jalan yang lumayan banyak menjual makanan khas Sumenep tersebut, dan kami memutuskan untuk berhenti dan membeli beberapa jenis oleh-oleh sebagai buah tangan nanti di rumah dan di kantor. Mobil berhenti tepat di samping depan toko penjual oleh-oleh. Dengan berjalan tergopoh-gopoh, seorang ibu setengah baya mendekati dan menyapa kami, sambil memperlihatkan senyum lugunya. Kami bertiga bilang kalau sedang mencari oleh-oleh yang tampaknya semua berada di toko tersebut. Setelah menginformasikan beberapa barang dagangan spesialnya, si ibu ini berjalan dengan langkah cepat masuk ke dalam tokonya sambil memanggil-manggil seseorang yang disebutnya "Bu Nyaeh". Panggilan ini biasanya adalah panggilan hormat pada seseorang yang dianggap istri dari seorang kyai. Tak lama kemudian muncullah seorang perempuan lain yang bertubuh agak subur bersamaan dengan ibu pertama tadi, yang sepertinya pemilik toko tersebut. Selain bertubuh subur, Bu Nyaeh ini ternyata memiliki senyum dan wajah yang tak kalah ramah dan cerahnya dibandingkan ibu pertama tadi. Kulit wajahnya yang putih bersih menampakkan beliau ini sebagai orang punya kelas tersendiri dalam lingkungan sosial seperti pada umumnya di Madura. Keramahan khas pedagangpun mulai diluncurkan. Bu Nyaeh ini menawarkan beberapa alternatif makanan yang menjadi produk unggulannya. Mereka juga menjelaskan dengan sangat detail bagaimana rasa dan kekhasan dari produknya serta harganya. Ibarat seorang sales profesional, mengerti betul Product Knowledge-nya dan mahir bagaimana cara menjelaskan secara menarik. Rupanya mereka dapat dengan cepat membaca keraguan dan kebingungan kami untuk memilih oleh-oleh yang tepat, rasa yang enak namun dengan harga yang terjangkau. Seketika itu mereka mengambil satu bungkus rengginang yang sudah di goreng, membukanya dan menawarkan kepada kita untuk mencicipinya. Langkah inilah yang membuat kita menjadi lebih nyaman dan masuk pada interaksi yang lebih baik lagi. Berbeda dengan beberapa spg yang biasanya memberikan sampel produk makanan atau minumal di Giant dan Carefour yang cuman sepotong kecil hanya untuk menutup gigi bolong saja. Ke-ikhlasan Bu Nyaeh untuk memberikan kita kesempatan mencicipi produknya dengan ikhlas, membuat kami jadi lebih percaya untuk memulai aktifitas berbelanja, mulai dari memilih, menawar dan memutuskan untuk membelinya. Tidak ada akttifitas tawar-menawar yang berat, semua dilakukan dengan santai dan penuh canda. Beberapa saat kemudian, beberapa jajanan khas seperti rengginang, petis asin, ikan kering, dan beberapa item barang yang tak identifikasi nama dan barcode-nya sudah berpindah tangan masuk ke dalam kantong belanja. Proses pembayaran belanjaanpun cukup unik, karena Bu Nyaeh tersebut ternyata cukup baik untuk membulatkan total rupiah yang harus dibayarkan ke bawah. Pada saat menjelang closing transaksi, Bu Nyaeh masih sempat menawarkan kerupuk tengiri yang kami kurang meresponnya dengan antusias, karena kami merasa jumlah belanjaan kami sudha cukup banyak. Namun Bu Nyaeh ini tidak putus asa, seketika dia ambilkan 1 bungkus kerupuk tengiri dan diberikannya secara gratis katanya untuk dicicipi. MasyaAllah... kami menghentikan langkah kaki sejenak untuk mencicipi kerupuk tengiri tersebut. Belum sempat kami membukanya, Ibu pertama tadi merayu kami untuk membeli kerupuk tengiri 2 bungkus sisanya seharga 2 ribu per bungkus. Pak Syaiful mengeluarkan uang 5 ribuan untuk membayar 2 + 1 bungkus kerupuk tersebut. Namun justru Bu Nyaeh tersebut hanya menghitung 2 bungkus saja dan menyodorkan kembalian seribuan. Pak Syaiful menolaknya dengan sopan, dan mengatakan biarlah dia bayr 5 ribu untuk 3 bungkus kerupuk tersebut. Namun Bu Nyaeh tersebut tetap kukuh pendiriannya bahwa 1 bungkus pertama itu tidak dihitung karena diberikan secara cuma-cuma untuk dicicipi. Akhirnya "ketegangan" tersebut ditutup oleh Bu Nyaeh dengan menerima kembalian seribuan tadi namun meminta kepada Ibu pertama untuk memberi kami bonus tambahan sebungkus keripik pisang lainnya. Luar biasa.... Hal lain yang kami terima dalam proses transaksi tersebut setelah kami memutuskan untuk membeli beberapa oleh-oleh tersebut, si Ibu pertama tak henti-hentinya mendoakan kami agar kami diberi kelancaran dan kecukupan rezeki. Luar biasa lagi. Semua senyum, antusiasme, barang, harga, dan doa tersebut membuat kami bertiga menutup kenangan di Sumenep dengan perasaan bahagia. yah, itulah keramahan ala pedagang rengginang Madura yang kami temui. Cara beliau menyapa, berdialog, melayani, menawarkan, bernegosiasi, memanusiakan manusia dan melakukan kontak mata, merupakan konsep dasar Customer Service dan pedagang yang handal. Bagaimana menurut anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H