Lihat ke Halaman Asli

Choiron

TERVERIFIKASI

Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Didholimi Tukang Lontong Balap!

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Sungguh terlalu Pak Lontong Balap ini, dia tertawa puas melihat saya tersiksa berusaha menghabiskan lontong balap racikannya. Sambil membereskan dagangannya senyumnya menyakitkan mata. Sungguh saya merasa dia sedang menikmati perbuatannya. Terlalu!

Hari ini perjalan saya mulai dari pagi hari (12/2) memberikan pelatihan video di SLB Negeri Gedangan pada siswa-siswi tuna rungu dan keterbelakangan mental. Sekitar jam 11, perjalanan dilanjutkan ke kampus untuk membantu Pak Sunan menyiapkan backdrop untuk acara hari senin 14/02 peresmian penggunaan ruang auditorium kampus yang baru saja direnovasi atas bantuan Pemprov Jawa Timur. Yah begitulah, walau sudah tidak jadi tukang desain istana, tapi masih sering diminta untuk desain berbagai printed material. Sekitar jam 3 sore seluruh pekerjaan persiapan awal sudah selesai, sayapun meluncur pulang kembali. Sesampai di daerah Prapen dari jauh saya lihat rombong lontong balap yang saya dulu pernah juga mampir menikmati seporsi lengkap masakan khas surabaya tersebut. Mendekati rombong saya menepikan sepeda motor dan menginjak rem sepeda motor hingga berdecit. Sayapun menuju ke tempat duduk yang disediakan di bawah pohon di sebelah trotoar. Si Penjual tanpa diminta langsung meracik seporsi lontong balap. Sementara Pak Lontong Balap menyiapkan hidangan favorit saya sejak di Surabaya ini, sayapun membaca koran Jawa Pos yang tergeletak di sebelah saya. Isinya berita metropolis hari ini tentang masalah konflik di DPRD Kodya Surabaya yang rekomendasi plenonya membahas pemberhentian Risma sebagai walikota karena melanggar perda katanya. Kembali ke masakan lontong balap, makan satu ini selalu membuat saya tetap semangat melahapnya. Pada saat masih di sekolah dasar di Madura dulu,  seorang paman yang tinggal di Surabaya bercerita kalau di Surabaya ada makanan yang bernama Lontong Balap. Kami semua tertawa membayangkan ada orang makan lontong sambil lari balapan. :D Namun setelah saya kuliah di Surabaya, baru tahu rasanya lontong balap dan bikin ketagihan. Biasanya rombong lontong balap lewat di depan kos-kosan di jalan pumpungan setiap pagi lengkap dengan kerupuk, sate kerang dan es degannya. Pakem racikan lontong balap terdiri dari lontong, kecambah dengan kuah sedapnya, petis, kecap manis, tahu goreng, dan lento (gorengan campuran kacang hijau). Sementara add-in atau plug-in yang bisa diinstall dalam porsi lengkapnya ditambah sate kerang dan kerupuk putih. Keren bukan? :) Hobby makan lontong balap ini sebenarnya karena saya senang dengan kandungan vitamin E yang ada pada kecambah. Katanyasih vitamin E bagus untuk kulit, rambut dan produksi sel sperma. Jadinya pada saat baru menikah dulu, hampir setiap 2 hari sekali makan lontong balap. Ketika sedang asyik membolak balik koran, tiba-tiba bapak penjual lontong balappun menyodorkan piring penuh lontong balap. Saking penuhnya, hampir-hampir kuah tuh lontong balap tumpah menyiram koran yang saya taruh di bangku. Untung saya cukup cekatan untuk menyeimbangkan tsunami kuah yang hampir melewati tepi piring. MasyaAllah... bapak penjual ini rupanya sadis juga, rupanya saya diberi sepiring lontong balap 'porsi bunuh diri'. Dalam piring tersebut berdesak-desakan lontong, kecambah, irisan tahu dan lento yang begitu banyak. Belum lagi siraman petis dan kecap manisnya, membuat kuah lontong balap tersebut menjadi coklat kehitaman. Sejurus kemudian  tangan terampil saya dalam memegang sendok dan garpu mulai memindahkan potongan demin potongan lontong, kecambah, tahu dan lento. Tak lupa sayapun memesan segelas es jeruk, namun ternyata es batunya habis, dan yang tersedia tinggal es tape. "Okelah Pak, es tape inggih boten nopo-nopo" sahut saya sambil menyeruput kuah lontong balap yang lebih manis dan pedas dari biasanya. Dua pertiga bagian sudah saya habiskan, dan tinggal sepertiga lagi yang belum di-download lewat mulut nih. Saya sedikit merasakan perut saya sudah mulai penuh. Lambung kiri, lambung kanan, dan lambung cadangan juga sudah hampir penuh. Saya bilang ke bapak penjualnya, "Pak, porsinya kok banyak banget sih?" Bapak penjual menjawab, "Iya mas, ini sudah sore dagangannya sudah mau habis. Jadi porsinya saya tambahi biar cepat habis, sayang mas kalau dibawah pulang juga buat apa," sambil tertawa di depan saya. Weleh-weleh... rupanya saya mendapatkan porsi penghabis. Sungguh terlalu Pak Lontong Balap ini, dia tertawa puas melihat saya tersiksa berusaha menghabiskan lontong balap racikannya. Sambil membereskan dagangannya senyumnya menyakitkan mata. Sungguh saya merasa dia sedang menikmati perbuatannya. Saya merasa telah didholimi tukang lontong balap. Terlalu! Akhirnya saya benar-benar tidak bisa menghabiskan tuh lontong balap. Sepotong lento masih saya biarkan berenang kesana-kemari di hamparan kuah lontong balap yang masih banyak ditemani oleh beberapa cabe hijau. Sebenarnya ada perasaan tidak enak juga pada bapak penjual kalau tuh porsi tidak saya habiskan. Saya pikir juga memang eman dan mubazir kalau tidak dihabiskan. Namun rasanya saya akan mendzolimi diri sendiri kalau saya paksakan tuh makanan masuk ke lambung yang sudah overload. Sementara alarm dan lampu peringatan bahaya sudah berbunyi dari tadi. Belum puas menyiksa saya dengan porsi lontong balapnya, Pak Penjual kemudian memberi beberapa sisa tahu dan lento yang beliau bungkus di kantong plastik dan diletakkannya di sepeda motor saya. Waw... kejam... kebaikan yang kejam... Saya tertawa juga melihat kelakuan bapak penjual yang kalau dilihat lebih teliti lagi memiliki wajah yang lucu mirip pelawak Kirun. Akhirnya saya membuka pembicaraan dengan bertanya penghasilannya setiap hari. Katanya omset perharinya bisa mencapai 200ribuan, dengan penghasilan bersih sekitar 100ribu. Wah lumayan juga ya Pak. Kalaua sebulan dia bekerja 25 hari saja berarti dia dapat sekitar 2.5 juta rupiah. Rasanya dosen Unitomo seperti saya ini kalah dengan bapak ini kalau hanya mengandalkan gaji dari kampus. Saya sempat tanya juga nama dan asalnya, dan ternyata bapak ini bernama Samsi (bahasa arab: matahari) berasal dari Maospati Magetan. "Berapa pak?" tanya saya setelah berdiri dan memasang kembali tas ransel di punggung. "Lima ribu rupiah saja mas," jawabnya dengan senyum yang masih mengembang kebanyakan baking soda kue. Sayapun menyodorkan uang sepuluh ribuan dan Pak Samsi memberikan kembalian selembar uang 5 ribuan lusuh dengan sedikit noda kecap di permukaannya. Sayapun pamitan sambil berencanan menuliskannya di blog ini dengan suasana hati riang gembira karena perut masih memproses seporsi lontong balap spesial sore tadi. Salam Lontong Balap! Siapa Cepat Dia Dapat! :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline